Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas
perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf
tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada
Al-Qur`anul Karim.
Petikan Nasihat dari Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari
atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan keberadaannya oleh
kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun
terkadang pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang
semestinya. Artinya, mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan
bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak
menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum
muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu
mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang
hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani t
berikut ini.
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf
tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ
اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara
yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat.”1
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam
neraka.”2
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas
perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf
tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada
Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar.
Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan
Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu
dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?”
Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu
adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum
asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah k itu dibolehkan atau
dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi
peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin
pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia
berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengecup Hajar
Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ
تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah
sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”3
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya
aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu
niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad
yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ اْلأَسْوَدُ مِنَ
الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”4
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul
darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami
menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga
yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak
butuh dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan
pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’
(pengikutan) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang
menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar
hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah
kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita
menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia
memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhum kepadanya untuk
mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid
berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada
mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium
mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan
jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya
dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka
katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya
tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak
pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah
engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau
mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah
(maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat
juga bid’ah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil
dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi
sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama.
Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi
perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya.
Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah
haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat
untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai
perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan)
jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab,
“Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk
taqarrub kepada Allah kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi
mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka
hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan
manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu
sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan
kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah
diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat
manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati
mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan
adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud
kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka
terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa
mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana
mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka
dapatkan dari hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ
فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka
berdirilah.”5
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi
ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya
lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا
(…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ،
فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka
ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”6
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada
manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia
menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak!
Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan
yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di
kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya.
Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita
tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا
أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu
dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku
perintahkan kepada kalian.”7
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat
mendekatkanmu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bila jawabannya, “Iya.” Maka
datangkanlah nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada
nashnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah,
seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang
kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka?
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu memberikan jawabannya dengan pernyataan
beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi
lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat
syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun
untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini
tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan
ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb
kita Subhanahu wa Ta’ala dan juga kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar