Mula-mula Islam Datang Dalam Keadaan Asing Dan Akan Kembali Dalam Keadaan Asing Pula Maka Beruntunglah Orang-Orang Asing Itu"

Selasa, 15 Januari 2013

Tercelanya Meminta-minta


 
Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
Seseorang diantara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tidak ada daging sama sekali,” [Hadits Riwayat Bukhary Muslim, dan Ahmad(2/15) dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu ).
Wajah-wajah Tak Berdaging
Jika kita melihat dan memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, maka kita akan mendapati sebagian dari kaum muslimin berada dipinggir jalan mencoba mengais rezeki dengan menengadahkan tanganya kepada setiap orang yang melintas. Ini adalah suatu pemandangan yang sangat memilukan hati. Padahal meminta-minta adalah perbuatan yang tercela didalam islam. Mereka tinggalkan usaha atau berkarya dengan tangan mereka sendiri. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjamin rezeki bagi mereka. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
"tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang mengatur rezekinya."(Hud: 6)
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
"Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung. Dimana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong(lapar), dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang." [HR.At-Tirmidzy(4/2344),Ibnu Majah(2/4164),dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak(4/318),dan dia berkata::”hadits ini hasan shahih.”dan disepakati oleh Adz-Dzahaby)]
Dari keterangan ini, maka jelaslah! bahwasanya setiap dari kita telah dijamin rezekinya oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tinggal usaha dari kita untuk mendapatkannya­. Karena rezeki tidak turun begitu saja dari langit, akan tetapi dibutuhkan usaha, kesungguhan serta tawakkal yang sempurna. Oleh karena itu, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- memberikan perumpamaan dengan seekor burung yang keluar dari sarangnya untuk mencari rezeki. Burung itu tidak tinggal di dalam sarangnya menunggu rezeki yang datang kepadanya.Akan tetapi,dia berusaha dengan terbang kesana kemari untuk mendapatkan makanannya. Dan manusia yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memberikan banyak fasilitas kepadanya dibandingkan burung ( berupa kaki, tangan, hati, dll )maka itu lebih layak baginya untuk berusaha dalam mencari rezekinya. Sebagaiman firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila sholat telah selesai ditunaikan maka bertebaranlah kamu sekalian dimuka bumi ini dan carilah karunia Allah.”(Al-Jum’ah:10).
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- sangat menganjurkan agar seorang muslim untuk makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta dan mengharapkan pemberian dari orang lain.Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
“Sungguh salah seorang diantara kalian pergi mencari kayu bakar dan dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya,maka itu lebih baik baginya dari pada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya.”[HR.Al-Bukhary(4/2073/Alfath.), Muslim(2/zakat/721),dan An-Nasa’y(5/2573),dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ].
Dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
“Tidak ada seseorang,makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya nabi Allah Daud-’alaihi salaam-makan dari hasil usahanya sendiri.” [HR.Al-Bukhary(4/2072/Al-Fath.), Ahmad didalam Musnadnya(4/131,`132), dari sahabat Al-Miqdam bin Ma’dikarib -radhiyallahu anhu- )
Oleh karena itu, hendaknya setiap dari kita untuk menjaga kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.Karena sesungguhnya, tidaklah seseorang meminta dari orang lain, kecuali ia menjadi hina dan rendah dalam pandangan orang lain itu.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
"Tangan yang diatas,itu lebih baik dari pada tangan yang dibawah.Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta."[HR.Al-Bukhary(3/1429/Al-Fath.),dan Muslim (2/zakat/717), dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu-)
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- telah memperingatkan akan bahaya atau balasan terhadap orang yang meminta-minta. Bahwasanya Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
"Seseorang diantara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tidak ada daging sama sekali," [HR.Al-Bukhary (3/1474/Al-Fath.) dan Muslim(2/zakat/720),dan Ahmad(2/15) dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu- ).
Dan Rasulullah juga bersabda:
"Barang siapa yang meminta-minta kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api.Terserah padanya apakah ia mengumpulkan sedikit saja atau akan memperbanyaknya." [HR.Muslim(2/zakat/760), Ibnu Majah(2/1737),Ahmad didalam Musnadnya(2/231), dan Al-Baihaqy dalam Sunannya(4/196), dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- )
Dengan melihat ancaman seperti ini,maka seorang muslim hendaknya takut dan menahan dirinya serta menjaga kehormatannya dari meminta-minta kepada orang lain kecuali dalam keadaan darurat.Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Qabishah Bin Mukhariq Al-Hilali -radhiyallahu anhu- bahwasanya dia berkata:
"Saya memiliki tanggungan (hutang, diat dan sebagainya) lalu saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- untuk meminta sesuatu kepada Beliau -Shollallahu alaihi wa sallam- .Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda: "tinggallah!sampai datang kepada kami sedekah, nanti akan kami perintahkan agar dibagikan kepadamu". Kemudian Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda: "Hai Qabishah,sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang, Pertama, orang yang sedang menanggung beban (denda, hutang dansebagainya) maka ia boleh meminta sampai ia melepaskan tanggungan(beban)itu. Kedua, seseorang yang tertimpa kecelekaan/musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Ketiga, seseorang yang sangat miskin,sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari kaumnya bahwa"si fulan benar-benar miskin"maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Hai Qabishah, meminta-minta yang selain karena tiga sebab ini maka itu adalah usaha yang haram, dan orang yang memakannya berarti makan barang yang haram."[HR.Al-Bukhary(3/1479/Al-Fath.), dan Muslim (2/zakat/719).
Saudaraku…kelaparan dan sedikit ibadah lebih baik daripada kamu memakan dari hasil meminta-minta dari orang lain seraya melakukan banyak ibadah.
Asy-Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i –rahimahullah-berkata:"Saya nasehatkan kepada Ahlus Sunnah agar bersabar menghadapi kemiskinan.Karena kemiskinan ini adalah keadaan yang telah dipiihkan oleh Allah untuk Nabinya Muhammad-Shollallahu alaihi wa sallam-. Dan Rabb Yang Maha Perkasa berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
"dan sungguh akan kami beikan cobaan kepedamu dengan sedikilt ketakutan kelaparan jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna lillahi rajiun mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunju";( Al-baqarah 155-157)
Perhatikanlah beberapa petikan tentang kesabaran Nabi dan para sahabatnya -radhiyallahu -Ta’ala-’anhum- di dalam menghadapi kemiskinan, kelaparan dan kekurang di dalam pangan (tidak memiliki pakaian). Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dia berkata :
pada suatu hari atau malam Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- keluar rumah, tiba-tiba bertemu dengan Abu baker dan Umar ,lalu beliu berkata :"apa yang mengeluarkan kalian dari rumah kalian, pada saat seperti ini?"
Keduanya menjawab ";lapar ya Rasulullah"
Beliau bersabda: " demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya juga dikeluarkan oleh yang menyebabkan kalian keluar, bangkitlah !"
Lalu keduanya bangkit bersam Beliau lalu memdatangi seorang sahabat Ansar ternyata dia tiadak ada di rumah namun. Ketika istri sahabat tersebut melihat dia berkata " selamat datang". Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- nbertanya kepadanya kemana Si pulan ? wanita itu berkata :"kjeluar mencari air minum untuk kami". Kemudian datanglah sahabat Ansar tersebut dan melihat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- beserta kedua sahabatnya kemudian dia berkata "segala puji bagi Allah tidak seorangpun pada hari ini yang tamunya lebih mulia daripada aku".
Kemudian dia pergi dan membawa setandan kurma lengkap, ada busr (kurma muda), tamr (kurma matang) dan ruthab (kurma yang masih basah diaberkata:"silahkan makan". ’setelah itu dia mengambil pisau. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- menegurnya :" hati-hati jangan ambil yang sedang menyusui". Diapun menyembelih seekor kambing. Merekapun makan dari kambing dan setandan kurma dan minum. Setelah kenyang dan hilang dahaga, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- berkata kepada abu bakr dan umar :" demi zat yng jiwaku ada di tangan-Nya kalian pasti akan ditanyai tentang kenkmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah kalian, kemudiann kalian tidak pulang kecuali telah menyantap kenikmatan ini" .[HR. Muslim (3/1609)]
Oleh karena itu janganlah engkau berkecil hati dengan kemiskinan jyang menimpa dirimu dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah karena sesungguhnya rahmat Allah itu luas maka berusahalah dengan kemampuan yang ada pada dirimu tentunya dengan cara yang halal dan bersifatlan dengan sifat qona’ah yaitu merasa cukup dengan apa yang ada pada dirimu. Karena sesungguhyan kekayaan itu bukanlah dilihat dari banyaknya harta benda akan tetapi dilihat dari lapangnya dada dalam menerima kondisi kita yang telah diberikan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- .
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- ‘
Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang dianamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa . .[HR Al-Bukhari (11/6446/Al-Fath.)dan Muslim(2/zakat/726) dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- )
Seorang penyair pernah berkata:
sungguh kekeyaan itu adalah kaya akan jiwa
meski tanpa berbalut baju tanpa beralas kaki
orang tiada puas meski lebih dari sederhana
namu bila hati menerima, sebagian sajapun mencukupi.
Inilah yang dapat kami uraikan dalam masalah tercelanya meminta-minta dari sejumlah ayat Al Qur’an dan Hadits yang sahih agar binasa orang yang memang pantas binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang memang pantas hidup dengan keterangan yang nyata.

Penulis: Dedy Arieswan

Perbedaan Jiwa dan Ruh Manusia

Ketahuilah bahwa Allah menciptakan manusia dari dua unsur yang berbeda. Pertama, jasad yang gelap dan tebal, di bawah struktur alam, tersusun dari tanah, dan tidak bisa sempurna kecuali dengan kehadiran unsur lain. Kedua, jiwa yang bersifat individual, menyinari, mengetahui, melaksanakan, menggerakkan, dan menyempurnakan tubuh. Allah menciptakan tubuh dari sari-sari makanan, merawatnya dengan unsur-unsur debu, meratakan dasar dasarnya, menyempurnakan pilar-pilarnya, menentukan ujung-ujungnya, dan menampakkan permata jiwa dari Yang Satu, Yang Sempurna, Yang Menyempurnakan, dan memberi faidah. Saya tidak mengartikan jiwa yang kuaf adalah kuat mencari makanan, juga bukan kuat menggerakkan syahwat dan nafsu amarah, juga bukan kuat yang diam dalam hati yang melahirkan kehidupan dan menggerakkan indra.

Gerakan berasal dari hati, kemudian mengalir ke seluruh organ tubuh. Kekuatan yang melahirkan gerakan ini dinamakan ruh hewan. Indra, gerak, syahwat, dan amarah adalah tentaranya. Sedangkan kekuatan yang membutuhkan makanan dan tersimpan dalam jantung dinamakan ruh alam. Mengunyah dan menolak adalah bagian dari sifat-sifatnya. Kekuatan yang membentuk, melahirkan, menumbuhkan, dan kekuatan-kekuatan lain yang lahir dari kekuatan ini adalah pelayan tubuh. Tubuh atau jasad itu sendiri adalah pelayan ruh hewan karena ia menerima kekuatan dari ruh itu dan bekerja sesuai dorongan gerakannya. Jiwa yang saya maksudkan sebagai permata individual yang sempurna memiliki ciri-ciri mengingat, menghapal, berpikir, memilah-milah, dan meriwayatkan. Ia juga menerima semua ilmu. Karena itu, ia disebut kepala ruh dan pemimpin kekuatan. Semua organ tubuh dan jiwa-jiwa yang lain melayaninya dan melaksanakan perintahnya. Jiwa yang demikian ini punya kemampuan bicara, yang setiap kelompok memberinya nama sendiri-sendiri. Para ahli hikmah menamakannya kemampuan bicara ini) ruh Al Nathiqah. Al Quran menamakannya Al Nafs Al Muthma’innah (jiwa yang tenang) dan ruh amr. Para sufi menamakannya qalb atau hati. Perbedaan hanya dalam nama dan maknanya satu.
Qalb, ruh, dan nafsu muthma’inaah (hati, ruh dan jiwa yang tenang) menurut kami semuanya adalah nama-nama untuk nafsu nathiqah (jiwa yang berbicara). Nafsu Nathiqah adalah permata yang selalu hidup, aktif dan mengetahui. Jika kita mengucapkan ruh atau hati secara mutlak, maka yang kami maksud adalah permata yang mulia ini. Sedang para sufi menamakan ruh hewan dengan istilah nafsu. Allah menamakannya nafsu, bahkan memperkuatnya dengan keterangan: “Nafsumu yang terletak diantara dua lambungmu.” Yang dimaksud dengan dua lambung adalah kekuatan syahwat dan kekuatan nafsu amarah. Dua kekuatan ini dibangkitkan dari hati yang terletak diantara dua lambung. Jika kamu mengetahui perbedaan-perbedaan penamaan, maka ketahuilah bahwa para pengkaji hanya sekedar mengungkapkannya dengan ungkapan yang berbeda-beda. Dalam hal ini mereka melihat berbagai pikiran yang berbeda-beda. Para ahli kalam yang hanya mengetahui ilmu debat mengategorikan jiwa sebagai tuhuh. Mereka berkata, “Nafsu adalah tubuh yang halus yang ditutupi tubuh yang tebal.” Mereka tidak mampu melihat perbedaan antara ruh dan jasad kecuali dengan kehalusan dan ketebalan. Sebagian mereka mengategorikan ruh sebagai jiwa, dan sebagian dokter condong pada pendapat ini. Ada pula yang memandang darah adalah ruh. Mereka puas dengan keterbatasan pendapat mereka yang sebenarnya hanya berpijak pada khayalan, dan tidak mau mencari bagian yang ketiga.
Ketahuilah, bagian-bagian yang membentuk manusia ada tiga, yaitu jasad, jiwa, dan permata tunggal yang berharga. Ruh hewan adalah badan halus yang seakan-akan merupakan sebuah lampu bernyala yang diletakkan dalam piala hati,yang saya mengartikannya sanubari yang bergantung di dada. Sedangkan kehidupan adalah cahaya lampu dan darah adalah makanannya Indra dan gerakan adalah cahayanya. Syahwat adalah panasnya. Marah adalah minyaknya. Kekuatan pencari makanan yang tersimpan dalam jantung adalah pelayan, penjaga dan wakilnya. Ruh yang demikian terdapat dalam semua hewan. Manusia adalah badan dan jejak-jejaknya adalah jiwa. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu, juga tidak mengetahui jalan makhluk, dan tidakjuga Sang Maha Pencipta. Ruh ini juga menjadi pelayan yang tertawan yang akan mati dengan kematian badan. Seandainya darah bertambah, lampu itu tetap akan padam disebabkan tambahnya panas. Seandainya darah berkurang, lampu itu juga akan padam dikarenakan bertambahnya dingin. Padamnya lampu (ruh) adalah sebab matinya badan. Tidak ada perintah agama dan beban hukum Tuhan pada ruh ini karena seluruh hewan tidak terkena hukum taklifi (aturan-aturan Tuhan yang diberlakukan kepada mereka).
Manusia yang dikenai hukum taklifi disebabkan makna lain yang memang hanya dikhususkan kepada manusia sebagai bekal khusus. Makna itu adalah nafsu nathiqah dan ruh muthma’inna. Ruh ini tidak bersama badan, juga tidak dengan ruh hewan, karena ruh ini dari perkara Allah atau amr Allah.
“Katakan, ‘ruh itu termasuk urusanKu.” (QS. Al Isra’:85)
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya.” (QS. Al Fajr: 27-28).
Urusan atau amr Tuhan bukanlah badan juga bukan jiwa, tapi kekuatan keTuhanan, seperti akal pertama, Lauhil Mahfuzh, dan Al Qalam (pena Allah). Semua itu adalah permata tunggal yang terpisah dari benda-benda. Bahkan, ia adalah cahaya murni yang bisa diketahui akal, tetapi tidak bisa diindra. Ruh dan qalb atau hati adalah istilah kita untuk menyebut permata tunggal yang berharga itu. Ruh ini tidak bisa rusak, tidak bisa lenyap, tidak punah, tidak mati, bahkan terpisah dari badan. Ia menunggu saat kembali kepada Tuhan pada hari kiamat sebagaimana yang dijanjikan dalam syara’.
llmu-ilmu hikmah yang ditopang dengan hujjah-hujjah yang kuat dan beberapa dalil lain menjelaskan bahwa ruh nathiqah bukanlah badan juga bukan jiwa, tetapi permata berharga yang sifatnya tetap, tidak berubah dan tidak rusak. Kami tidak perlu mengulang-ulang argumen karena sudah disebutkan berkali-kali. Siapa saja yang menginginkan penjelasan lebih luas bisa melihat buku-buku saya di bab tentang ruh.
Cara kami menjelaskan masalah ini tidak dengan kekuatan hujjah, tetapi dengan kekuatan mata batin dan berpedoman pada penglihatan iman. Allah swt.terkadang mengaitkan ruh ini dengan amr atau urusanNya dan kadang pula dengan keagungan kemuliaanNya.
“Dan Aku meniupkan ke dalamnya dari ruhKu.” (QS. Al Hijr: 29).
“Katakan, ‘Ruh itu termasuk urusanKu.”‘(QS. Al Isra: 85).
“Maka Kami meniupkan ke dalamnya (pada diri Maryam) dari ruh Kami.” (QS. Al Tahrim: 12).
Allah swt. adalah Dzat Yang Maha Agung yang mustahil mensifati diriNya dengan jasad atau ruh hewan karena keduanya memiliki sifat rusak, berubah dan cepat hilang. Nabi saw. bersabda:
“Ruh-ruh adalah tentara-tentara yang dipersenjatai.”
Sabda beliau yang lain:
“Ruh-ruh orang-orang yang mati syahid dalam rongga burung hijau.”
Jiwa atau ruh hewan tidak tetap ada setelah lenyapnya ruh Tuhan karena ruh ini tidak menetap pada zatnya. Sedangkan badan menerima untuk dipilah-pilah, sebagaimana dikatakan di atas bahwa badan tersusun dari materi dan bentuk. Setelah kita menemukan ayat-ayat di atas, beberapa hadis, dan hujjah-hujjah akal, kita tahu bahwa ruh merupakan permata tunggal yang sempurna dan hidup dengan zatnya sendiri. Dari ruh ini lahirlah baik buruknya agama. Ruh alam dan ruh hewan serta seluruh kekuatan badan adalah tentaranya. Ruh tunggal ini menerima berbagai macam informasi dan hakikat makhluk dengan tanpa badan kasar yang membungkusnva. Jiwa atau ruh tunggal ini mampu mengetahui hakikat kemanusiaan dengan tanpa melihat manusianya sebagaimana ia juga mengetahui malaikat dan setan tanpa harus mengetahui wujudnya. Jiwa ini untuk mengetahui hakikat-hakikat tersebut tidak perlu melihat sosok wujud yang menjadi kerangka hakikat-hakikat di atas, karena memang panca indra tidak mampu menjangkaunya.
Seorang sufi berkata, “Hati memiliki mata sebagaimana tubuh manusia. Badan kasar melihat dengan mata kacar, seangkan objek yang hakiki atau esensiil hanya bisa dilihat degan mata akal.”
Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seorang hamba kecuali hatinya memiliki dua mata.”
Dengan dua mata batin itu, manusia bisa mengetahui sesuatu yang gaib. Jika Allah swt. menghendaki kebaikan pada seorang hamba. maka kedua mata batinnya dibukakan untuk melihat apa yang tidak bisa dilihat mata zahirnya. Itulah ruh tunggal atau jiwa murni yang tidak akan mati dengan matinya badan karena Allah swt. mengajaknya ke pintuNya:
“Kembalilah [hai jiwa yang tenang] kepada Tuhanmu. (QS. Al Fajr: 28).
Ruh pasti berpisah dengan badannya. Di antara tabiat ruh adalah ketika kekuatan tubuh atau energi hewaniah dan alam tidak berfungsi, maka kekuatan penggeraknya diam. Diamnya kekuatan penggerak ini dinamakan maut. Karena keterbatasan kekuatan tubuh, maka ahli tarekat, yakni pengamal tasawuf, lebih memilih bersandar pada kekuatan ruh dan hati daripada kekuatan badan kasar.
Apabila ruh dikategorikan sebagai “urusan” yang berasal dari Tuhan, maka ruh di tubuh manusia seperti makhluk asing. Visinya berorientasi kepada yang asal dan tempat kembalinya. Manfaat yang diperoleh dari sisi asal (esensi) lebih banyak daripada yang diperoleh dari sisi tubuh kasar apabila yang asal itu kuat dan tidak dikotori oleh kotoran tabiat. Jika engkau mengetahui bahwa ruh adalah permata tunggal yang berharga dan engkau juga mengetahui bahwa tubuh merupakan tempat ruh, maka sudah pasti jiwa tidak menampak kecuali dengan permata tunggal atau ruh.
Ketahuilah bahwa permata atau ruh ini tidak bersemayam di suatu tempat atau menempati suatu tempat, dan badan bukanlah tempat ruh juga bukan tempat semayam hati. Badan adalah alat ruh dan hati, di samping sebagai kendaraan jiwa. Zat ruh itu sendiri tidak ada hubungannya dengan unsur-unsur badan, juga tidak terpisah darinya, tetapi ruh merangkul badan, memberi faidah, mengaktifkan fungsi gerak, dan mengalirkan cahaya kehidupan. Cahaya kehidupan yang pertama muncul di otak karena otak adalah penampakan kehidupan yang teristimewa. Di depan otak berfungsi sebagai perisai, di tengah berfungsi sebagai menteri dan unit-unit menejer, dan di akhir herfungsi sebagai gudang simpanan berharga.
Unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia ada yang berjalan ada pula yang berkendaraan. Ruh hewan adalah pelayan. Ruh alam adalah wakil. Badan adalah kendaraan. Dunia adalah medan. Kehidupan adalah bekal. Gerakan adalah perdagangan. Ilmu adalah keuntungan. Akhirat adalah tujuan atau tempat kembali. Syari’at adalah jalan. Nafsu ammarah adalah penjaga. Nafsu lawwamah adalah tukang mengingatkan. Panca indra adalah para pengawas dan pembantu. Agama adalah baju besi. Akal adalah gutu. Rasa adalah murid. Sementara Allah selalu mengawasi di balik semua itu. Jiwa dengan sifat dan alat-alat yang tersebut di atas tidak menempati tubuh vang tebal, juga tidak berhubungan dengan zat tubuh, tetapi memberinya faidah. Jiwa menghadapkan dirinya ke hadapan Allah, dan Allah memerintahkan jiwa untuk mencari faidah sampai ajal tiba. Selama perjalanan ini, ruh tidak memiliki kesibukan kecuali mencari ilmu karena ilmu menjadi perhiasannya di kampung akhirat. Mengapa ilmu menjadi perhiasan ruh atau jiwa diakhirat? Karena perhiasan harta dan anak keturunan adalah perhiasan kehidupan dunia. Mata disibukkan dengan aneka ragam pemandangan. Telinga disibukkan dengan suara-suara. Lidah sibuk menyusun kata-kata. Ruh hewan menyenangi kenikmatan marah. Ruh alam menyukai kelezatan makan dan minum. Sedangkan ruh muthmainnah, yakni hati, tidak menginginkan apa-apa kecuali ilmu, tidak ridha kecuali dengan ilmu dan speanjang umurnya dipakai untuk belajar. Seluruh harinya dihiasi dengan ilmu sampai waktu memisahkannya. Seandainya tuh muthmainnah, jiwa atau hati menerima sesuatu yang lain yang bukan ilmu, sesungguhnya ia menerimanya hanya karena untuk kemaslahatan badan, bukan untuk memenuhi keinginan zat jiwa itu sendiri, juga bukan karena dorongan karakter asliya. Jika kamu mengetahui keadaan ruh, sifatnya yang langgeng, dan kerinduannya pada ilmu maka kamu harus mengetahui klasifikasi ilmu, karena ilmu itu banyak dan kami akan mengelompokkannya secara ringkas.
Klasifikasi llmu
Ketahuilah bahwa ilmu terbagi menjadi dua: pertama adalah (1) ilmu syar’i dan (2) ilmu akal. Kebanyakan ilmu syar’i bersifat rasional bagi yang ahli ilmu, dan kebanyakan ilmu rasional juga bersifat syar’i bagi orang yang ahli ma’rifat.
“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya [sedikitpun].” (QS. Al Nur: 40).
1. Ilmu Syar’i
llmu ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu ilmu ppkok dan ilmu cabang. llmu pokok atau ilmu dasar adalah ilmu tauhid. Ilmu ini memandang Dzat Allah, sifat-sifatNya yang qadim, sifat-sifat perbuatan Nya, dan sifat-sifat DzatNya dengan nama-nama yang telah diperkenalkan olehNya. Ilmu ini juga merenungkan keadaan para Nabi, para pemimpin dan para sahabat, di samping juga memikirkan keadaan maut, kehidupan, kiamat, hari kebangkitan, padang mahsyar, dan perhitungan akhir. Orang yang “melihat” Allah dan ahli ilmu syar’i pertama kali berpedoman ayat-ayat Al Quran, kemudian hadis-hadis Rasulullah saw. dan terakhir dalil-dalil aqli dan argumen-argumen analog. Mereka juga mengambil dalil-dalil yang digunakan dalam ilmu mantiq dan filsafat. Kelompok yang menggunakan dalil-dalil yang terakhir ini sering kali meletakkan kata-kata bukan pada tempatnya, kemudian mereka mengutarakan berbagai pernyataan dengan permata tunggal, jiwa, dalil penalaran, logika dan hujjah. Karena logika, maka tidak jarang satu kata memiliki makna yang beragam sesuai dengan siapa yang mengatakannya. Para filsuf mengartikan jiwaa atau ruh dengan makna tertentu, kaum sufi memaknainya dengan makna lain, dan ahli kalam atau kaum teolog juga punya makna sendiri. Dalam bahasan ini, penulis tidak perlu mengutarakan makna-makna yang herbeda-beda ini menurut pikiran kelompok-kelompok mazhab. Mereka ini adalah kaum vang ahli ilmu kalam, ilmu tauhid dan mereka diberi julukan ulama kalam. Nama ilmu kalam masyhur untuk sebutan ilmu tauhid.
Di antara ilmu yang bisa dikategorikan ilmu pokok adalah tafsir karena Al Quran adalah sesuatu yang paling agung, paling mulia, dan paling benar. Dalam Al Quran terdapat berbagai persoalan yang tidak bisa dijangkau oleh akal kecuali orang yang telah diberi Allah pemahaman. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah satu ayatpun di antara ayat-ayat Al Quran kecuali merniliki bentuk zahir dan bentuk batin, dan satu batinnya mempunyai satu batin hingga tujuh batin.”
Dalam riwayat lain disebutkan hingga memiliki sembilan batin. Rasulullah saw. juga bersabda:
“Setiap huruf di antara huruf-huruf Al Quran mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat terbitnya.”
Dalam Al Quran terhimpun berbagai ilmu pengetahuan. Allah swt. mengabarkan bahwa seluruh ilmu dan segala yang ada, baik yang tampak, samar, kecll, besar, bisa dihitung, bisa di nalar maupun yang tidak bisa dinalar terdapat dalam Al Quran.
“Tidak ada yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS.Al Anam: 59).
“Supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya memperoleh pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29).
Apabila Al Quran dihitung sebagai perkara yang terbesar, maka siapakah mufassir (ahli tafsir) yang telah memenuhi hak Al Quran dan siapa pula ulama yang keluar dari batas-batasnya. Memang benar, setiap mufassir diwajibkan menjelaskan tafsirannya sesuai dengan kemampuannya, menurut ukuran kekuatan akalnya, dan sebanding dengan inti ilmunya. Ilmu Al Quran menunjukkan ilmu pokok. ilmu cabang, ilmu syar’i, dan ilmu rasional. Seorang mufassir atau ulama tafsir harus memahami Al Quran dari berbagai sisi. mulai dari sisi bahasa, arti kiasan, struktur kalimat, tingkatan-tingkatan gramatika, kebiasaan orang Arab, filosofis, hingga pendapat-pendapat kaum sufi sampai penafsirannva mendekati kenyataan (hakiki). Seandainya pemahamannya dalam satu sisi terbatas, tetapi dengan ilmu tertentu ia mendapatkan kepuasan, berarti ia belum keluar dari batas-batas penafsiran. Pada posisi ini, ia berpedoman pada hujjah iman dan kekuatan argumen.
Hadis juga termasuh ilmu pokok. Nabi saw. adalah orang yang paling fasih di antara bangsa Arab dan non-Arab, Beliau seorang mahaguru yang senantiasa mendapatkan wahyu dari Allah swt. Akalnya meliputi dan menjangkau semua yang berada di atas dan yang di bawah. Setiap kata dari kata-katanya, bahkan setiap huruf di antara huruf-huruf yang disabdakannya di bawahnya pasti ditemukan lautan rahasia dan simpanan yang berharga. Karena itu, ilmu hadis dan mengetahui hadis-hadisnya adalah perkara yang agung. Tidak seorang pun yang mampu mengetahui dan memahami sabda Nabi saw. kecuali jiwanya telah terdidik dengan senantiasa mengikuti Allah (dengan meneladani Rasul) dan menghilangkan kebengkokan-kebengkokan dari hatinya dengan menegakkan Sunnah Nabi saw.
Barangsiapa ingin berbicara tentang tafsir Al Quran, menafsiri hadis-hadis Rasul, dan benar dalam berbicara, maka wajib atasnya, yang pertama, menguasai ilmu bahasa dan paham ilmu nahwu, i’rab, dan sharaf. Ilmu bahasa adalah tangga dan jembatan yang mengantarkan kepada semua ilmu. Barangsiapa tidak mengetahui ilmu bahasa, maka tidak ada jalan baginya untuk mrenguasai macam-macam ilmu. Barang siapa ingin mendaki suatu hamparan yang berada di atas, maka wajib baginya menyiapkan tangga, kemudian mendaki. Ilmu bahasa dalam hal ini ibarat sarana, jembatan, dan tangga. Karena itu, pencari ilmu membutuhkan hukum-hukum bahasa. Dengan demikian, ilmu bahasa adalah dasar dari semua dasar. Hal pertama yang hanus diketahui dari ilmu bahasa adalah ilmu alat. Selain itu, pengkaji juga harus memperhatikan syair-syair Arab, terutama yang disusun di zaman Jahili. Karena syair Jahili kekuatan bahasanya sangat tajam, daya imajinasi dan emosinya kuat. Iimu nahwu atau gramatika Arab yang diibaratkan timbangan juga harus dikuasai. Setiap ilmu memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, seperti mantik atau ilmu logika adalah untuk ilmu hikmah, ilmu ‘arudl untuk syair, dan timbangan untuk menakar biji-bijian. Setiap apa saja yang tidak ditimbang dengan timbangan, maka tidak diketahui hakikat tambahan dan pengurangan. Itulah sebabnya ilmu bahasa diibaratkan jalan yang menghubungkan pada ilmu tafsir dan hadis. Ilmu Al Quran dan hadis adalah dalil yang menunjukkan pada ilmu tauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang tidak satu pun jiwa bisa selamat kecuali berpedoman dengannva, dan ia juga tidak terbebas dari ancaman hari akhir kecuali dengan mengilmuinya.
Bagian kedua dari ilmu syar’i adalah ilmu cabang. Ilmu jenis ini ada halnya bersifat ilmu semata dan ada pula yang berupa amalan atau perbuatan. Ilmu pokok adalah pengetahuan murni, yakni ilmiah. Sedangkan ilmu cabang adalah perbuatan. Ilmu amaliah (perbuatan) ini mencakup tiga hak, yaitu hak Allah, hak hamba atau ibadah, dan hak jiwa.
Hak Allah dalam perspektif ini adalah rukun-rukun ibadah, seperti bersuci, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, berhari raya, shalat jumat, dan ibadah-ibadah sunnah. Sedangkan hak hamba adalah pintu-pintu adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, hak hamba terbagi menjadi dua. Pertama, mu’amalah, seperti jual-beli, syirkah atau perkongsian, hibah, investasi modal, pinjaman, dan berbagai jenis piutang. Kedua adalah akad perjanjian, seperti nikah, talak, memerdekakan budak, dan faraid. Ilmu fiqih mencakup dua sisi hak hamba ini. Karena itu, ilmu fiqih adalah ilmu yang mulia, memberi manfaat umum, dibutuhkan, dan semua manusia membutuhkannya.
Hak yang ketiga adalah hak jiwa, yaih ilmu akhlak. Akhlak adakalanya tercela dan wajib dibuang. Akhlak ada juga yang baik dan wajib dimiliki. Akhlak jenis ini harus menjadi hiasan jiwa. Akhlak yang tercela dan yang terpuji sama-sama dijelaskan dalam Al Quran dan Al Sunnah. Barangsiapa berakhlak dengan salah satu akhlak yang baik, ia masuk surga.
2. Ilmu Akal
Ini adalah jenis ilmu yang sulit dan membingungkan, kadang-kadang benar dan kadang pula salah. Jika diklasifikasikan, ilmu akal tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkatan pertama, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga.
Tingkatan yang pertama adalah tingkatan yang tertinggi, yaitu ilmu pasti dan ilmu logika. Di antara ilmu-ilmu yang bisa dikelompokkan ilmu alam adalah ilmu hitung, ilmu teknik atau arsitektur, ilmu alam yang mencakup ilmu perbintangan, ilmu bumi, dan ilmu cuaca. Sedangkan ilmu logika adalah ilmu yang mengajarkan cara membuat batasan, definisi, dan rumusan tentang sesuatu yang bisa diketahui dengan logika atau bayangan. Di samping itu, ilmu ini juga mengajarkan cara membuat perbandingan dan argumen-argumen berbagai ilmu yang diperoleh dengan cara yang benar. Ilmu logika berputar mengikuti kaidah-kaidah berikut ini, yaitu diawali dengan satuan-satuan tunggal, kemudian dengan susunan dari satuan-satuan tunggal, kemudian berhipotesa, kemudian membandingkan. kemudian membagi-bagi perbandingan, dan diakhiri mencari hujjah atau argumen.
Tingkatan kedua. yakni tingkatan tengah-tengah adalah ilmu alam. Orang yang menggeluti ilmu ini memandang tubuh secara mutlak, memperhatikan unsur-unsur alam, benda-benda langit, benda-benda padat, esensi benda, gerak dan diamnya sesuatu, keadaan langit dan segala apa saja yang bergerak atau yang memberi aksi dan reaksi. Dari ilmu ini maka lahirlah ilmu yang mengamati keadaan susunan benda-benda yang ada, nyawa dan jenis-jenisnya, alat-alat indra dan bagaimana indra mengetahui objeknya, kemudian berkembang menjadi ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran adalah ilmu badan, anatomi tubuh, penyakit, obat-obatan, penyembuhan dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Cabang-cabang ilmu yang berkembang dari ilmu kedokteran adalah ilmu yang mampu mendeteksi pengaruh obat atau penyakTt, itmu pertambangan, dan ilmu yang mengetahui rahasia di balik benda-benda. Ilmu ini bisa berkembang hingga ke puncaknya sampai menghasilkan ilmu kimia, yang di antara fungsinya bisa untuk mengobati tubuh yang sakit yang terdapat dalam rongga tubuh.
Tingkatan ketiga adalah ilmu yang tertinggi, yaih ilmu yang mampu memandang sesuatu yang ada. Ilmu ini dibagi menjadi ilmu yang wajib dan ilmu yang mungkin. Kemudian ilmu ini memandang Pencipta sesuatu yang ada, DzatNya, semua sifatNya, perbuatanNya, perintah dan hukumNya, qadla’Nya, dan urutan penampakan sesuatu yang ada. Bertolak dari sini, ilmu menguak sesuatu yang luhur, sangat bernilai, yaitu, jiwa, akal, nafsu yang sempurna, kemudian merenungkan keadaan malaikat dan setan, yang akhirnya mengantarkan kepada ilmu kenabian, kemukjizatan, karomah, keadaan jiwa yang suci, keadaan jiwa yang tidur, tersadar, bangun, dan maqam-maqam ru’yah. Dari ilmu ini, maka lahirlah ilmu jimat, mantra-mantra. tumbal, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengannya. Ilmu-ilmu yang dipaparkan di atas memiliki pasal-pasal, urut-urutan, dan tingkatan-tingkatannya yang masing-masing membutuhkan penjelasan tersendiri. Akan tetapi, kami cukup meringkasnya sampai di sini saja.
Ilmu Tasawuf
Ketahuilah bahwa ilmu akal pada mulanya bersifat tunggal, satu, kemudian darinya lahir ilmu yang tersusun dari yang tunggal. Dalam ilmu yang tersusun ini diketahui seluruh keadaan alam secara satuan-satuan. Di antara ilmu yang tersusun itu terdapat ilmu sufi dan cara-cara pengamalnya membina pribadi. Para sufi memiliki ilmu khusus dengan cara yang jelas dan ilmu mereka meliputi ilmu hal, waktu, pendengaran, wijd, syauq, sakr, shahwu, itsbat, muhu, faqr, fana’, wilayah, iradah, syekh, murid, dan apa saja yang berkaitan dengan keadaan spiritual mereka dan sifat-sifat serta maqamat. Insyaallah kami akan membahas tiga macam ilmu ini dalam kitab khusus, dan sekarang kami tidak mempunyai tujuan selain menjabarkan klasifikasi ilmu dan jenis-jenisnya dalam risalah ini. Semua ini kami jelaskan secara ringkas. Barangsiapa menginginkan keterangan tambahan, maka dipersilakan menelaah kitab-kitab tasawuf Yang lain. Setelah penjelasan tentang klasifikasi dan jenis-jenis ilmu dipaparkan, maka ketahuilah dengan yakin bahwa setiap cabang ilmu menuntut beberapa syarat untuk mengukirnya di dalam jiwa para pencarinya. Sesudah memahami macam-macam ilmu, Anda wajib mengetahui cara-cara menghasilkannya. Setiap ilmu mempunyai cara tertentu untuk mendapatkannya.

Perbedaan Antara Jin, Setan dan Iblis


Tema Jin, Setan, dan Iblis masih menyisakan kontroversi hingga kini. Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika masih ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat pantas jika diragukan keimanannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada segenap Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf: 29-32)
Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula di antara kaum muslimin yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian Mu’tazilah.
Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia atau selainnya. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)
Anehnya orang-orang filsafat masih mengingkari keberadaan jin. Dan dalam hal inipun Muhammad Rasyid Ridha telah keliru. Dia mengatakan: “Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan/ gambaran tentang bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali dengan perantara mikroskop.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)
Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 26-27)
Karena jin lebih dulu ada, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin, setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk golongan para malaikat?
Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:

“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha)
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api. Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan 793)
Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab: “Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Siapakah Iblis?1
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.
Pendapat pertama
Menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu. Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)
Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Jashshash dalam kitabnya  Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut. Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:
1.  Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.”
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari malaikat.”
Pendapat kedua
Yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Alasannya adalah firman Allah:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.
Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat Al-Baqarah ayat 34), sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa iblis dari malaikat. Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan istitsna` munqathi’ (yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis yang disebutkan).
Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu adalah cerita Israiliyat. Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah ini (asal-usul iblis), banyak yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun mayoritasnya adalah Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang (sesungguhnya) dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu tentang keadaan mayoritas cerita itu. Dan di antaranya ada yang dipastikan dusta, karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita. Dan apa yang ada di dalam Al-Qur`an sudah memadai dari yang selainnya dari berita-berita itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)
Asy-Syinqithi menyatakan: “Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah ‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang tidak bisa dijadikan landasan.” (Adhwa`ul Bayan, 4/120-121)
Siapakah Setan?2
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata (شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata (شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Misbahul Munir, hal. 313).
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir, 1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).
Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”
Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)
Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:
“Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan: “Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah. (ed)

Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 14-17)
Setan adalah turunan Iblis
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)
Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang tersembunyi.
  • Jin memiliki roh dan jasad.
Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’. Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah, maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
  • Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang.
Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)
  • Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda.
Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor. (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
  • Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”

Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan.”
(HR. Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”, ed)

Gambaran Tentang Iblis dan Setan
Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah musuh nomer wahid bagi manusia, musuh bagi Adam dan keturunannya. Dengan kesombongan dan analoginya yang rusak serta kedustaannya, mereka berani menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala saat mereka enggan untuk sujud kepada Adam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Malah dengan analoginya yang menyesatkan, Iblis menjawab:
“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12)
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini adalah qiyas batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyuruhnya untuk sujud. Sedangkan qiyas jika berlawanan dengan nash, maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas itu adalah menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash, mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash.
Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan/ diakui, maka konsekuensinya akan menggugurkan nash. Dan inilah qiyas yang paling jelek!

Sumpah mereka untuk menggoda Bani Adam terus berlangsung sampai hari kiamat setelah mereka berhasil menggoda Abul Basyar (bapak manusia) Adam dan vonis sesat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan.
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Semoga kita semua terlindung dari godaan-godaannya. Wal ’ilmu ’indallah.


Penulis: Dedy Arieswan