Mula-mula Islam Datang Dalam Keadaan Asing Dan Akan Kembali Dalam Keadaan Asing Pula Maka Beruntunglah Orang-Orang Asing Itu"

Rabu, 16 Januari 2013

Syair yang membuatkan imam Ahmad menangis


Koleksi Dusta Pemerintahan Iran


Al-Imam Asy-Syafii berkata :

لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ

"Aku tidak melihat seorangpun yang paling bersaksi dusta lebih dari para Rofidhoh" (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 21433)
Kalau tidak hobi dusta bukan syi'ah namanya…wong taqiyyah (berdusta) merupakan aqidah yang prinsipil bagi kaum syi'ah.
Ternyata Imam Syafi'i rahimahullah telah mewanti-wanti sejak jauh-jauh hari bahwasanya syi'ah memang hobinya suka berdusta. Yang menyedihkan adalah berita dusta yang disebarkan syi'ah ini disambut dan ikut disebarkan pula oleh banyak kaum yang mengaku aswaja....
Sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta konyol yang disebarluaskan tentang kaum wahabi. Orang yang berakal sehat tentunya tatkala membaca dusta-dusta konyol itu akan tertawa dan dipenuhi tanda tanya akan kebenarannya.
Sungguh terlalu banyak tuduhan dusta yang ditempelkan kepada sosok Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Diantara tuduhan-tuduhan dusta tersebut adalah :
  • Beliau dituduh mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang tidak mengikutinya. Ini tentunya tuduhan dusta yang telah beliau bantah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti : Kerajaan Arab Saudi yang meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama'ah haji yang berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama'ah haji dianggap kafir dan musyrik tentunya mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di Mekah. Bahkan kenyataannya kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama'ah haji.
  • Beliau dituduh melarang bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru beliau menganjurkan untuk bershalawat. Bahkan salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi beliau yaitu Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah (murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bersholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berjudul جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ. Yang mungkin beliau larang adalah sholawat-sholawat bid'ah yang berisi makna-makna yang menyimpang. Seperti sholawat Faatih yang dipopulerkan oleh Toriqoh At-Tijaaniyah, yang keutamaan membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan Al-Quran 6000 kali menurut anggapan mereka.
  • Beliau dituduh membenci ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Ini merupakan kedustaan, bahkan beliau memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama ahlul bait. Diantara nama anak-anak beliau adalah Hasan, Husein, Ali, Ibrahim, Abdullah, abdulaziz, Fatimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.
  • Beliau dituduh melarang ziarah kuburan, padahal beliau sangat menganjurkan ziarah kuburan –karena ziarah kuburan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kuburan-. Akan tetapi yang beliau larang adalah ziarah kuburan yang di dalamnya ada praktek perkara-perkara yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighotsah kepada mayat penghuni kuburan, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
  • Beliau dituduh mengaku seorang nabi. Ini merupakan kedustaan terkonyol yang pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau.
Tuduhan-tuduhan ini sering disampaikan oleh kaum yang mengaku aswaja…., semoga Allah mengembalikan mereka kepada jalan yang lurus sehingga benar-benar menjadi aswaja yang sesungguhnya.
Tidak diragukan lagi bahwasanya syi'ah sangat berperan dalam merusak citra kaum wahabiyah. Mereka tidak sungkan-sungkan, tidak ragu-ragu untuk menyebarkan kedustaan tentang kaum wahabiyah. Justru penyebaran dusta ini adalah ibadah yang agung menurut mereka !!!
Ada beberapa dusta yang akhir-akhir ini tersebar di dunia internet tentang Arab Saudi, yang setelah diteliti ternyata sumber berita-berita dusta tersebut berasal dari sumber kantor berita Iran : FarsNews.com
Fars News Agency merupakan corong berita pemerintah Iran yang sering menyebarkan berita-berita dusta. Diantara kedustaan yang sangat menghebohkan dunia internasional adalah :
Pertama : Pada tahun ini televisi Iran sengaja merubah terjemahan pidato Presiden Mesir, Muhammad Mursi, yang disampaikan dalam bahasa Arab. Mursi mengutuk pemerintah Suriah atas pembantaian terhadap rakyatnya dan mengajak dunia untuk membantu masyarakat Suriah menuju kebebasan dan kebangkitan. Namun pidato tersebut diubah oleh Telivisi Iran dengan terjemahan bahasa Persia, agar hendaknya dunia membantu masyakarat Bahrain merdeka dari pemerintah mereka. Ternyata perubahan dengan sengaja ini terjadi berulang-ulang, bahkan diberitakan oleh beberapa corong sumber berita Iran. Ini merupakan kedustaan yang sangat memalukan !!!
Sebagaimana kita ketahui, Suriah merupakan sekutu Iran, baik dalam ideologi Syi’ah maupun pandangan politiknya. Sedangkan Bahrain adalah negara Ahlussunnah atau Sunni dan masyarakat yang memberontak adalah Syi’ah. Oleh karena itu, telivsi Iran memelesetkan terjemahan pidato Presiden Mesir agar pengaruh Teheran di dunia Arab kian kuat. Simak video perubahan pidato tersebut di http://www.youtube.com/watch?v=pNoPNKepQxI&feature=player_embedded
Dan merupakan perkara yang wajar jika Iran berusaha keras untuk membantu pemerintahan rezim Basyaar Asad. Bahkan Nizomuddin Al-Musawi Direktur redaksi Fars News Agency menyatakan : "Wajib atas Iran untuk membela Suriah, karena Iran adalah negara sahabat bagi penduduk Suriah" (http://arabic.farsnews.com/newstext.aspx?nn=9107114898)
Kedua : Fars News Agency juga berdusta dengan menyatakan telah mewancara Muhammad Mursi dan beliau menyatakan secara resmi akan urgennya menjalin kembali hubungan antara Iran dan Mesir. (lihat : http://article.wn.com/view/2012/06/26/Mursi_bantah_pernah_diwawancarai_media_Iran/)
Tatkala dibantah maka Kantor berita Iran (Fars News Agency) membantah kembali dengan merekayasa rekaman wawancara Presiden Muhammad Mursi (lihat : http://www.elwatannews.com/news/details/20646?page=3), akan tetapi pemerintah mesir menegaskan bahwasanya rekaman wawancara tersebut adalah rekayasa dengan penggunaan tekhnologi suara (http://www.marebpress.net/news_details.php?sid=44904)
Ketiga : Fars News Agency menyatakan bahwasanya 77 persen dari kaum berkulit putih pedesaan Amerika lebih mengutamakan Ahmadi Najad daripada Barak Obama (silahkan lihat pembongkaran kedustaan ini di http://internasional.kompas.com/read/2012/09/30/09405881/.FARS.Klaim.Warga.AS.Lebih.Suka.Ahmadinejad, versi bahasa Arab : http://www.aawsat.com/details.asp?section=4&article=697433&issueno=12359), versi bahasa inggrisnya di (http://edition.cnn.com/2012/09/28/world/iran-news-agency-duped/index.html). Jika beritanya pun benar lantas apa yang mau dibanggakan oleh pemerintah Iran?? Apakah mereka bangga jika orang-orang Amerika yang kafir lebih menyukai Ahmadi Najad daripada Barak Obama?
Keempat : Ternyata kantor berita Iran Fars News Agency juga sering mengarang berita dengan merekayasa foto. Hal ini sebagaimana pengakuan salah seorang reporter Amir Farsyad Ibrahimi yang pernah mengirim sebuah foto pada tahun 2008 dimana beliau berbaring di samping serdadu Israel tatkala ada rudal yang jatuh di kota Sderot . Foto tersebut direkayasa oleh Kantor berita Iran dengan mengarang sebuah berita bahwasanya ada rudal yang jatuh di padang Naqob yang menyebabkan dua serdadu Israel terluka. (silahkan lihat http://www.albiladpress.com/article154615-1.html atau http://www.wa-gulf.com/vb/t20785.html)
Ini sekedar sebagian dusta-dusta yang disebarkan oleh Kantor Berita Iran, bahkan sebagian penduduk Iran tatkala mengomentari kedustaan Kantor Berita Iran berkata, "Bukan hanya Kantor Berita Iran yang pendusta, bahkan pemerintahan Iran adalah pemerintahan yang dibangun atas kedustaan. Kami diperintah oleh pemerintahan dusta" (silahkan lihat kembali http://www.albiladpress.com/article154615-1.html)
Pernyataan ini bukanlah pernyataan omong kosong, buktinya sebagaimana telah lalu pemerintah Iran "nekat" merubah terjemahan Muhammad Mursi yang mengecam Suriah menjadi Pengecaman terhadap Bahrain, bahkan berulang-ulang perubahan tersebut. Yang terjemahan tersebut disiarkan secara langsung dengan bahasa Persia dikalangan rakyat Iran melalui pusat-pusat berita Iran dan televisi Iran !!!
Jika Iran (Syi'ah Rofidoh) nekat untuk berdusta atas nama rakyat Ahlus Sunnah secara umum, maka terlebih-lebih lagi berdusta untuk menjatuhkan Kerajaan Arab Saudi yang para ulamanya paling getol membantah pemikiran kesesatan kaum Syi'ah Rofidhoh.
Berikut diantara dusta-dusta tersebut :
Dusta Pertama : Tuduhan bahwa Kerajaan Arab Saudi akan menggusur makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
(lihat http://english.farsnews.com/newstext.php?nn=9107115272), atau (http://www.lensaindonesia.com/2012/10/28/astagfirullah-saudi-bakal-hancurkan-makam-nabi-dan-sahabat.html), juga ikut disebarkan oleh situs resmi N.U (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,45-id,40547-lang,id-c,internasional-t,Saudi+Bakal+Hancurkan+Makam+Nabi+dan+Sahabat-.phpx).   
Padahal, jangankan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, rencana memperluas mathaaf (tempat thawaf) di sekitar Ka’bah dengan merobohkan tiang-tiang mashaabiih yang merupakan peninggalan atau sentuhan peradaban khilafah Utsmani saja sampai sekarang tidak direalisasikan, karena pemerintah Arab Saudi mempertimbangkan perasaan umat Islam secara umum dan negeri Turki secara khusus.
Hal ini pun dibantah oleh pihak Kedutaan Besar Arab Saudi yang dikonfirmasi oleh redaksi Sabili dengan langsung membantah fitnah tersebut. Mufti Saudi tidak pernah memfatwakan seperti itu. Berita tersebut bersumber dari propaganda Iran, “Mereka dengki karena haji tahun ini berlangsung sukses,” katanya singkat. Yang benar, proyek perluasan Masjid Nabawi meliputi sayap Timur dan Barat masjid tanpa melakukan pengrusakan terhadap kuburan Nabi dan dua sahabatnya yang mulia. (lihat http://www.konsultasisyariah.com/fitnah-arab-saudi-akan-menggusur-makam-nabi/#axzz2B7uMngbC), silahkan baca juga (http://suara-islam.com/read5784-Isu-Pembongkaran-Majid-Nabawi-untuk-Mengadu-Domba-Umat-Islam.html#.UJDLY9aP45I.facebook)
Dusta Kedua : Arab Saudi menghapus Israel dari daftar musuh

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH mengabarkan :-- Kerajaan Arab Saudi dilaporkan menghapus rezim Zionis Israel dari daftar negara-negara yang menjadi musuh Negeri Petrodolar tersebut.

Situs berita Nahrain Net mengungkap kebijakan rezim Al Saud yang menghapus nama Israel dari daftar negara-negara musuh Saudi. Fars News, Selasa (9/10), melaporkan, selain menghapus Zionis Israel dari daftar musuh, Departemen Informasi Saudi memerintahkan media-media di negara tidak mempublikasikan artikel tentang bahaya Israel bagi kawasan Timur Tengah. (lihat : http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/10/10/mbnqxp-saudi-hapus-israel-dari-daftar-musuh) atau (http://www.lensaindonesia.com/2012/10/11/masya-allah-saudi-hapus-zionis-israel-dari-daftar-musuh.html)
Ternyata berita inipun diambil dari sumber Kantor berita syi'ah rofidhoh Iran FarsNews. Ini jelas merupaka kedustaan yang sangat nyata, silahkan lihat pernyataan resmi kerajaan arab Saudi di http://www.mofa.gov.sa/aboutKingDom/KingdomForeignPolicy/KingdomPosition/Pages/default.aspx
Betapa seringnya Kerajaan Arab Saudi dengan resmi menyatakan kebenciannya dan ketidaksetujuannya dengan kekejaman Israel.
Bagi orang-orang yang mukim di Mekah dan Madinah betapa sering mendengar para imam Mesjid Nabawi dan Mesjid Al-Haram yang mendoakan kecelakaan bagi kaum yahudi para perampok negeri kaum muslimin. Terlebih-lebih lagi tatkala malam-malam bulan Ramadhan. Tapi yaa begitulah, kaum Syi'ah Iran kalau berdusta tidak punya malu !!! Selain itu masih ada tanda tanya besar di hati penulis, apakah benar Kerajaan Arab Saudi punya daftar negara-negara musuh, lantas bisa ditambah daftarnya atau dihapus?, atau mungkin juga ada daftar negara-negara sahabat??
Dusta Ketiga : Mayat Hangus Di atas Kubah Hijau
Ini juga merupakan kedustaan syi'ah yang sangat konyol. Yang pertama kali mempopulerkan kedustaan ini adalah Az-Zabiidi seorang syi'ah, lalu dipopulerkan dengan penuh semangat oleh situs-situs yang mengaku aswaja !!??.
Dikutip dari Syekh az-Zabidi Asy-Syi'iy: “Para musuh Rasulullah setelah mereka selesai menghancurkan makam-makam mulia di komplek pemakaman al Baqi’, mereka pindah ke Qubah Rasulullah untuk menghancurkannya. Salah seorang dari mereka lalu naik ke puncak Qubah untuk mulai menghancurkannya, tapi kemudian Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut yang dengan hanya satu kali hantaman saja orang tersebut langsung mati hingga -raganya- menempel di atas Qubah mulia itu. Setelah itu tidak ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut dari atas Qubah; selamanya. Lalu ada salah seorang yang sangat saleh dan bertakwa mimpi diberitahukan oleh Rasulullah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut. Dari sini kemudian orang tersebut “dikuburkan” ditempatnya (di atas Qubah; dengan ditutupkan sesuatu di atasnya) supaya menjadi pelajaran”.
Lihat bantahannya di (http://metafisis.wordpress.com/2011/06/23/membongkar-kedustaan-adanya-mayat-pengikut-wahabi-di-kubah-makan-rasulullah/). Kalau ini benar, maka sesungguhnya mayat tersebut memiliki karomah, karena dikubur di atas kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam??!!
Lantas jika memang si wahabi kesambar petir maka itu merupakan kejadian yang sangat menghebohkan, bukan hanya menghebohkan penduduk madinah, bahkan penduduk saudi, bahkan penduduk dunia. Tentunya berita heboh ini akan disebarkan dunia internasional, terlebih lagi dari gambar tersebut nampak adalah di zaman modern sekarang, dengan adanya HP, kamera, IPhone, dll. Karenanya tentu kita bertanya-tanya kapan terjadi peristiwa "wahabi kesambar petir" ini?, dalam sumber berita manakah? Atau dalam buku sejarah manakah?. Tentunya jika berita ini benar maka para orang-orang yang hasad kepada kaum wahabi tidak akan tinggal diam, dan pasti langsung menyebarkannya.
Selain itu, jika memang ada mayat di atas kubah hijau, lantas kenapa tidak dikuburkan? Apakah ada syari'at baru tidak usah dikuburkan agar menjadi pelajaran bagi yang lain??
Jika memang yang kesambar petir seorang wahabi, maka kenapa jenazahnya tidak dikuburkan di tanah? Apakah karena wahabi kafir lantas tidak dikuburkan di tanah?, bukankah orang kafir saja dikuburkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam? Bahkan Abu Jahal dikuburkan oleh Nabi?, apalagi seorang wahabi? Apalagi penegak Al-Quran dan Sunnah-sunnah Nabi?

Ulama Syafi'iyah Mengingkari Bid'ah


Sebagian ulama Syafi'iyah yang memandang adanya bid'ah hasanah, ternyata dikenal membantah bid'ah-bid'ah yang dianggap hasanah. Yang hal ini semakin menunjukan bahwa yang dimaksud oleh mereka dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah (silahkan baca kembali artikel Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid'ah Hasanah)

          Semakin memperkuat bahwa yang dimaksud oleh para ulama syafi'iyah dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah, ternyata kita mendapati mereka keras mengingkari perkara-perkara yang dianggap oleh masyarakat sebagai bid'ah hasanah

A.   Pengingkaran Al-Izz bin Abdis Salam terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah hasanah. Diantara perkara-perkara yang diingkari tersebut adalah bersalam-salaman setelah sholat, sholat roghoib, sholat nishfu sya'ban, mengusap wajah selesai doa, mengirim pahala bacaan qur'an bagi mayat, dan mentalqin mayat setelah dikubur.

Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz bin Abdissalam),

"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)

Beliau ditanya : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar hukumnya mustahab atau tidak? Doa setelah salam dari seluruh sholat mustahab bagi imam atau tidak? Jika engkau berkata hukumnya mustahab maka (tatkala berdoa) sang imam balik mengahadap para makmum dan membelakangi kiblat atau tetap menghadap kiblat?...

Jawab : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.

Setelah sholat Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beliau berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…

Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut, dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut" (Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)

Beliau juga menyatakan bahwa mengirim bacaan qur'an kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa beliau hal 96). Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)



B.   Pengingkaran Imam As-Syafi'i terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah

Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"

(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya  Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)

Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.



Diantara amalan-amalan yang dianggap bid'ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafi'i rahimahullah adalah :

a.     Acara mengirim pahala untuk mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.

Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur'an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:

"Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi'i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…" (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)



b.    Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai masjid atau tempat ibadah

Imam As-Syafi'i rahimahullah berkata :

وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس

"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul Muhadzdzab 5/280)

Bahkan Imam As-Syafi'i dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ... وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك
"Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan di atas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan…

Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat pera fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)



c.     Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu

Berkata Abu Syaamah :

"Imam As-Syafi'i berkata : Aku benci seseorang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 48)

Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »

"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian" (yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)

Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.

Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!
Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari'atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??

Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm

"Dan aku suka jika imam menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izoh, dan membaca qiroa'ah, dan tidak menambah lebih dari itu".

Imam As-Syafii berkata : "Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada 'Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.

Imam As-Syafii berkata, "Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya" (Al-Umm 2/416-417)

Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang mengkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum'at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu 'Athoo') yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah). Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku benci" yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A'lam.



d.    Dzikir berjama'ah secara keras selepas sholat fardu

Diantara bukti bahwa al-Imam al-Syafi‘i tidak memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah hasanah adalah kritikan beliau terhadap kesinambungan berzikir secara keras selepas solat, yang tentunya amalan ini dianggap perkara yang baik/hasanah oleh sebagian pihak.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata :

وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يَرى أنه قد تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ.

Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut, maka ketika itu dikeraskanlah dzikir, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya (Al-Umm 2/288).

Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i menjelaskan seperti berikut:
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلّم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يُذكر فيها بعد التسليم تَهليلٌ ولا تكبير، وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصَفْتُ، ويذكر انصرافه بلا ذكر، وذكرتْ أمُّ سلمةَ مُكْثَه ولم يذكر جهرا، وأحسبه لم يَمكُثْ إلاّ ليذكرَ ذكرا غير جهْرٍ.
Menurutku Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Karena kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadangkala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas sholat seperti yang aku nyatakan, kadangkala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas sholat menetap di tempat sholatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan tidak dijaharkan.
فإن قال قائل: ومثل ماذا؟ قلت: مثل أنه صلّى على المنبر يكون قيامُه وركوعُه عليه وتَقهْقَرَ حتى يسجدَ على الأرض، وأكثر عمره لم يصلّ عليه، ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بَعُد عنه كيف القيامُ والركوعُ والرفع. يُعلّمهم أن في ذلك كله سعة. وأستحبُّ أن يذكر الإمام الله شيئا في مجلسه قدر ما يَتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطولَ من ذلك فلا شيء عليه، وللمأموم أن ينصرفَ إذا قضى الإمام السلامَ قبل قيام الإمام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصرافِ الإمام أو معه أَحَبُّ إلي له.
Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (maksudnya permasalahan ini seperti permasalahan apa yang lain?-pen). Aku katakan, sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersholat di atas mimbar, dimana beliau berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian beliau mundur belakang untuk sujud di atas tanah. Nabi tidaklah sholat di atas mimbar pada kebanyakan usia beliau. Akan tetapi menurutku beliau ingin agar orang yang jauh yang tidak melihat beliau, dapat mengetahui bagaimana cara berdiri (dalam solat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Beliau ingin mengajarkan mereka keluasan dalam itu semua.

Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama'ah wanita sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam  boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pula pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai untuknya. " (Al-Umm 2/288-289)

Nyata sekali al-Imam As-Syafi’i rahimahullah tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar kita semua membiasakan diri dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu asalnya Nabi berdzikir dengan pelan, dan hanya sesekali mengeraskan suara beliau untuk mengajarkan kepada para makmum. Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah/Hasanah yang disebut oleh al-Imam Asy-Syafi’i mencakup perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukkan dzikir secara kuat selepas sholat dalam kategori Bid‘ah Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya. Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah



C.   Pengingkaran Imam An-Nawawi terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah

Pengklasifikasian bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, "Dan bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang jelek dan bid'ah hasanah", kemudian beliau menukil perkataan Al-'Iz bin Abdissalam dan perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas (lihat Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22-23).

Akan tetapi ternyata didapati Imam An-Nawawi rahimahullah ternyata juga mengingkari beberapa praktek ibadah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai bid'ah hasanah.

a.     Mengiringi janazah sambil membaca dzikir dengan mengangkat suara

Di dalam kitabnya al-Azkar, al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم : السكوت في حال السير مع الجنازة ، فلا يرفع صوتا بقراءة ، ولا ذكر ، ولا غير ذلك ، والحكمة فيه ظاهرة ، وهي أنه أسكن لخاطره ، وأجمع لفكره فيما يتعلق بالجنازة ، وهو المطلوب في هذا الحال ، فهذا هو الحق ، ولا تغترن بكثرة من يخالفه ، فقد قال أبو علي الفضيل بن عياض رضي الله عنه ما معناه : الزم طرق الهدى ، ولا يضرك قلة السالكين ، وإياك وطرق الضلالة ، ولا تغتر بكثرة الهالكين...
وأما ما يفعله الجهلة من القراءة على الجنازة بدمشق وغيرها من القراءة بالتمطيط ، وإخراج الكلام عن موضوعه ، فحرام بإجماع العلماء ، وقد أوضحت قبحه ، وغلظ تحريمه ، وفسق من تمكن من إنكاره ، فلم ينكره في كتاب " آداب القراء
Ketahui sesungguhnya yang betul lagi terpilih yang menjadi amalan al-Salaf al-Salih radhiallahu 'anhum ialah diam ketika mengiringi jenazah. Maka janganlah diangkat suara dengan bacaan, zikir dan selainnya. Hikmahnya nyata, yaitu lebih menenangkan hati dan menghimpunkan fikiran mengenai apa yang berkaitan dengan jenazah. Itulah yang dituntut dalam keadaan tersebut. Inilah yang benar. Janganlah engkau terpengaruh dengan banyaknya orang yang menyanggahinya.

Sesungguhnya Abu ‘Ali al-Fudail bin ‘Iyad rahimahullah pernah berkata: “Berpegang dengan jalan kebenaran, tidak akan memudorotkanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan kebenaran tersebut. Dan jauhilah jalan yang sesat. Jangan engkau terperdaya dengan banyaknya golongan yang binasa (yang melakukannya).”

…… Adapun apa yang dilakukan oleh golongan jahil di Damaskus, yaitu melanjutkan bacaan al-Quran dengan dipanjang-pangjangkan dan bacaan yang lain ke atas jenazah, serta pembicaraan yang tiada kaitan, maka hukumnya adalah haram dengan ijma’ ulama. Sesungguhnya aku telah jelaskan dalam Kitab Adab al-Qurroo' tentang keburukannya, besar keharamannya dan kefasikannya bagi siapa yang mampu mengingkarinya tetapi tidak mengingkarinya" (Al-Adzkaar hal 160)

Nyata bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak menamakan perbuatan mem-bacakan al-Qur’an ketika mengiringi jenazah sebagai Bid‘ah Hasanah. Padahal sangatlah jelas bahwa membaca Al-Qur'an adalah perkara yang baik. Bahkan bukankah seseorang tatkala membaca al-Qur'an tatkala mengiringi janazah maka akan semakin mendatangakan kekhusyu'an??

Kenyataannya bahkan Imam Nawawi sangat keras mengingkari perbuatan ini. Dan tidak mungkin kita bisa mengingkari hal ini kecuali dengan dalil bahwasanya hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.



b.    Menambah lafal "wa barakaatuh" tatkala salam dari sholat

Dalam Syarh Sahih Muslim, al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
أن السنة في السلام من الصلاة أن يقول السلام عليكم ورحمة الله عن يمينه السلام عليكم ورحمة الله عن شماله ولا يسن زيادة وبركاته وإن كان قد جاء فيها حديث ضعيف وأشار إليها بعض العلماء ولكنها بدعة إذ لم يصح فيها حديث بل صح هذا الحديث وغيره في تركها
Sesungguhnya yang menjadi sunnah bagi salam dalam solat ialah dengan berkata: السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ sebelah kanan, السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ sebelah kiri. Tidak disunahkan menambah وَبَرَكَاتُهُ. Sekalipun tambahan ini telah ada dalam hadits yang dhaif dan diisyaratkan oleh sebahagian ulama. Namun ia adalah bid‘ah karena tidak ada hadits yang sahih (yang menganjurkannya). Bahkan yang sahih dalam hadits ini dan selainnya ialah meninggalkan tambahan itu" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 4/153)

Bukankah penambahan “wa Barakatuh” merupakan satu penambahan yang pada zahirnya nampak baik?, bahkan disepakati kebaikannya tatkala diucapkan di luar sholat. Akan tetapi ternyata tambahan ini tidak dianggap baik oleh Imam An-Nawawi, akan tetapi dinilai oleh beliau merupakan bid'ah yang harus ditinggalkan. Dari penjelasan An-Nawawi di atas juga diambil faedah bahwasanya beliau tidak membolehkan hadits dhoif dijadikan hujjah/dalil untuk membuat suatu peribadatan.



c.     Sholat Rogo'ib

Ketika mensyarahkan hadits berikut:

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ.

“Jangan kalian mengkhususkan malam Jum'at diantara malam-malam yang lain dengan sholat. Jangan kamu mengkhususkan hari Jum'at –diantara hari-hari yang lain- dengan puasa, kecuali hari jum'at tersebut termasuk dari puasa yang sedang dikerjakan oleh salah seorang dari kalian"

al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
وفى هذا الحديث النهى الصريح عن تخصيص ليلة الجمعة بصلاة من بين الليالي ويومها بصوم كما تقدم وهذا متفق على كراهيته واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة
"Hadits ini menunjukkan larangan yang jelas terhadap pengkhususan malam Jum'at dengan sesuatu sholat yang tidak dikerjakan pada malam-malam yang lain, dan juga pengkhususan puasa pada siangnya seperti yang telah dinyatakan. Hal ini telah disepkati akan kemakruhannya. Para ulama berhujah dengan hadits ini mengenai makruhnya/dibencinya sholat bid‘ah yang dinamakan Sholat ar-Raghaib. Semoga Allah memusnahkan pemalsu dan pengkreasi sholat ini. Ini karena sesungguhnya ia adalah bid‘ah yang munkar, termasuk jenis bid‘ah yang sesat dan jahil." (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 8/20)



d.    Sholat Malam Nishfu Sya'ban

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الائمة فصنف ورقات في استحبابهما فانه غالط في ذلك وقد صنف الشيخ الامام أبو محمد عبدالرحمن بن اسمعيل المقدسي كتابا نفيسا في ابطالهما
"Sholat yang dikenal dengan sholat ar-Roghoib –yaitu sholat 12 raka'at yang dikerjakan antara maghrib dan isyat pada malam jum'at yang pertama di bulan Rojab-, dan juga sholat malam nishfu Sy'aban seratus raka'at. Dua sholat ini merupakan sholat yang bid'ah, sholat yang mungkar dan buruk, dan janganlah terpengaruh dengan disebutkannya kedua sholat ini dalam kitab "Quutul Quluub" dan "Ihyaa Uluumiddin", dan jangan pula terpedaya dengan hadits yang disebutkan tentang kedua sholat ini, karena semuanya adalah kebatilan. Dan jangan juga terpedaya dengan sebagian imam yang terancukan/tersamarkan tentang hukum kedua sholat tersebut sehingga ia menulis beberapa lembaran tentang sunnahnya kedua sholat itu. Sesungguhnya ia telah keliru. As-Syaikh al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma'il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang bagus tentang batilnya kedua sholat ini" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 4/56)



e.     Acara kumpul-kumpul setelah kematian

Yang sunnah adalah para tetangga dan karib kerabat membuatkan makanan bagi keluarga duka, bukan malah sebaliknya justru keluarga duka yang sudah bersedih malah direpotkan untuk menyiapkan makanan apalagi sampai kenduri setelah kematian. Al-Imam An-Nawawi berkata:
واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لأقرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لأهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير … قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه احمد بن حنبل وابن ماجه باسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه
"Nash-nash dari Imam As-Syafi'i dalam kitab al-Umm dan kitab al—mukhtashor telah sepakat dengan perkataan para ashab (para ulama besar madzhab syafi'iyah) bahwasanya disunnahkan bagi para kerabat mayit dan juga para tetangganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, dimana makanan tersebut bisa mengenyangkan mereka pada siang dan malam mereka. Imam As-Syafi'i berkata dalam kitab al-Mukhtashor, "Wajib  bagi kerabat mayit dan tetangganya untuk menyediakan makanan bagi keluarga mayat untuk siang dan malam mereka yang bisa mengenyangkan mereka. Hal ini merupakan sunnah dan sikap para pelaku kebaikan"….

Penulis kitab Asy-Syamil dan selain beliau berkata, "Adapun keluarga mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan maka tidak dinukilkan (dalilnya) sama sekali. Dan ini adalah perbuatan bid'ah yang tidak dianjurkan. Ini adalah perkataan penulis kitab As-Syamil, dan dalil akan hal ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami menganggap berkumpul-kumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada lafal "setelah dikuburkannya mayat" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/319-320)



f.       Menambah lafal sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Adzkaar :
وأما ما قاله بعض أصحابنا وابن أبي زيد المالكي من استحباب زيادة على ذلك وهي : " وَارْحَمْ مُحَمَّدًا وَآلَ مُحَمَّدٍ " فهذا بدعة لا أصل لها. وقد بالغ الإمام أبو بكر العربي المالكي في كتابه " شرح الترمذي " في إنكار ذلك وتخطئة ابن أبي زيد في ذلك وتجهيل فاعله ، قال : لأن النبي صلى الله عليه وسلم علمنا كيفية الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم ، فالزيادة على ذلك استقصار لقوله ، واستدراك عليه صلى الله عليه وسلم
"Adapun apa yang disebutkan oleh sebagian ulama madzhab syafi'iyah dan Ibnu Abi Zaid al-Maliki tentang disunnahkannya tambahan lafal sholawat dengan tambahan وَارْحَمْ مُحَمَّدًا وَآلَ مُحَمَّدٍ "Dan rahmatilah Muhammad dan keluarga Muhammad" maka ini merupakan perkara bid'ah yang tidak ada asal/dalilnya. Al-Imam Abu Bakr Ibnul 'Arobi Al-Maliki telah mengingkari dengan sangat serius hal ini dalam kitabnya "syarh At-Tirmidzi" (silahkan lihat perkataan Ibnul 'Arobi dalam kitabnya 'Aaridhotul Ahwadzi 2/271-272-pen), beliau (Ibnul 'Arobi) menyalahkan Ibnu Abi Zaid dan membodohkan pelakunya. Ia berkata, "Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita tentang tata cara shalawat kepadanya, maka tambahan terhadap tata cara tersebut adalah menganggap kurang sabda Nabi, dan bentuk penyempurnaan terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam" (Al-Adzkaar 116)

Tentunya sangat tidak diragukan bahwa mendoakan rahmat bagi Nabi dan keluarga Nabi merupakan perkara yang baik, akan tetapi menjadikan doa ini sebagai tambahan dalam rangkaian sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap bid'ah oleh Imam An-Nawawi rahimahullah.



D.  Pengingkaran As-Suyuthi terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah

Adapun As-Suyuthi rahimahullah, maka terlalu banyak mengingkari perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah oleh kebanyakan orang, terutama di masa beliau. Bahkan beliau menulis sebuah buku khusus –yang berjudul الأَمْرُ بِالِاتِّبَاعِ وَالنَّهْيُ عَنِ الاِبْتِدَاعِ (Perintah untuk ittiba'/mengikuti sunnah dan larangan untuk berbuat bid'ah, bisa didownload di http://www.4shared.com/get/lbBW0G8g/_____________.html)- untuk menjelaskan bid'ahnya perkara-perkara tersebut.

Dalam bukunya tersebut As-Suyuthi rahimahullah telah megklasifikasikan bid'ah mustaqbahah/buruk sebagai berikut:

Pertama : Bid'ah-bid'ah dalam aqidah yang mengantarkan kepada kesesatan dan kerugian.

Beliau mencontohkan bid'ah-bid'ah ini adalah bid'ah-bid'ah aqidah yang dilakukan oleh 72 golongan sesat, yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya mereka di neraka (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 93-94)

Kedua : Bid'ah-bid'ah dalam perbuatan dan peribadatan. Dan inipun terbagi menjadi dua bagian ;
  • Bid'ah-bid'ah yang jelas diketahui oleh orang awam terlebih lagi para ulama, dan bid'ah- bid'ah ini bisa jadi hukumnya haram atau makruh
  • Bid'ah-bid'ah yang disangka merupakan ibadah dan qurbah yang mendekatkan kepada Allah.
Setelah itu beliaupun menyebutkan contoh-contoh bid'ah-bid'ah tersebut. Diantara bid'ah-bid'ah tersebut yang diingkari oleh beliau adalah :

1.      Nyanyian dan joget dalam beribadah. Beliau menyatakan bahwa orang yang melakukan hal ini maka telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, telah gugur muru'ahnya, dan tertolak syahadahnya/persaksiannya (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 99).

Tentunya di tanah air kita banyak saudara-saudara kita yang masih beribadah dengan nyanyian bahkan dengan musik-musikan, dan sebagian mereka beribadah dengan tarian-tarian.

2.      Bernadzar untuk kuburan, kuburan siapapun, karena ini merupakan kemaksiatan berdasarkan kesepakatan para ulama (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 118)

3.      Berdoa di kuburan. As-Suyuthi berkata, "

"Adapun dikabulkannya doa di kuburan-kuburan tersebut bisa jadi karena yang berdoa benar-benar merasa terjepit/terdesak (sehingga itulah yang menjadikannya dikabulkan oleh Allah, bukan karena keberadaannya di kuburan-pen), atau sebabnya adalah murni rahmat Allah kepadanya, atau karena perkara tersebut telah ditaqdirkan oleh Allah untuk terjadi dan bukan karena doanya. Dan bisa jadi ada sebab-sebab yang lain, meskipun sebab-sebab tersebut adalah fitnah baginya yang berdoa.

Orang-orang kafir dahulu berdoa, lalu dikabulkanlah doa mereka, mereka diberi hujan, mereka ditolong dan diselamatkan, padahal mereka berdoa di sisi berhala-berhala mereka dan mereka bertawassul dengan berhala-berhala mereka" (Al-Amru bil ittibaa' hal 124)

4.      Berdoa dan beribadah di kuburan para nabi dan orang-orang sholeh. As-Suyuthi berkata :

"Diantara tempat-tempat tersebut adalah tempat-tempat yang memiliki kekhususan, akan tetapi hal ini tidak melazimkan untuk menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai 'ied, dan juga tidak melazimkan untuk sholat di sisinya atau ibadah-ibadah yang lainnya, seperti doa di sisinya. Diantara tempat-tempat tersebut adalah kuburan para nabi dan kuburan orang-orang sholeh" (Al-Amru bil ittibaa' hal 125)

5.      Berdoa di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Setelah menyebutkan hadits-hadits yang melarang beribadah di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam As-Suyuthi berkata ;

"Sisi pendalilannya adalah, bahwasanya kuburan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kuburan yang paling mulia di atas muka bumi. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kuburan tersebut sebagai 'ied yaitu yang didatangi berulang-ulang, maka kuburan selain beliau –siapapun juga dia- lebih utama untuk dilarang.

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggandengkan larangan menjadikan kuburannya sebagai 'ied dengan sabda beliau "Dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan", maksudnya yaitu janganlah kalian kosongkan rumah-rumah kalian dari sholat, doa, dan membaca al-Quran, sehingga bisa jadi seperti kedudukan kuburan (yang tidak dilaksanakan sholat, doa, dan baca al-Qur'an di situ-pen). Rasulullah memerintahkan untuk semangat melakukan ibadah di rumah, dan melarang untuk beribadah di kuburan. Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin Nashoro dan orang-orang yang bertasyabbuh dengan mereka.

Kemudian setelah Nabi melarang untuk menjadikan kuburannya sebagai 'ied beliau melanjutkan dengan sabda beliau "Bersholawatlah kalian kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada". Beliau mengisyaratkan bahwa apa yang akan diraih olehku beliau karena sholawat dan salam kalian kepadaku, akan terjadi sama saja apakah kalian dekat dengan kuburanku atau jauh dari kuburanku, oleh karenanya kalian tidak butuh untuk menjadikan kuburanku sebagai 'ied.

Kemudian tabi'in yang  terbaik dari ahlul bait yaitu Ali bin Al-Husain telah melarang lelaki tersebut yang sengaja untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau menjelaskan kepada lelaki tersebut bahwasanya tujuannya untuk berdoa di kuburan Nabi sama saja dengan bermaksud menjadikan kuburan Nabi sebagai 'ied. Demikian juga sepupunya Husain bin Hasan yang merupakan syaikh Ahlul bait, beliau membenci seseorang yang bermaksud mendatangi kuburan Nabi untuk memberi salam kepadanya dan yang semisalnya, dan beliau memandang hal tersebut termasuk menjadikan kuburan Nabi sebagai 'ied.

Lihatlah kepada sunnah ini, bagaimana sumber sunnah ini dari Ahlul Bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka memiliki kedekatan nasab kepada Nabi, kedekatan rumah, karena mereka lebih butuh untuk hal-hal seperti ini daripada selain mereka, maka mereka lebih paham tentang hal-hal ini". (Al-Amru bil ittibaa' hal 127-128)

6.      Membangun masjid di kuburan, As-Suyuthi berkata :

"Adapun membangun masjid di atas kuburan, menyalakan lentera-lentera atau lilin-lilin, atau lampu-lampu di kuburan, maka pelakunya telah dilaknat sebagaimana telah datang dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam" (Al-Amru bil ittibaa' hal 129)

As-Suyuthi juga berkata ;

"Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan maka wajib untuk dihilangkan, dan hal ini termasuk perkara yang tidak diperselisihkan diantara para ulama yang ma'ruf. Dan dimakruhkan sholat di masjid-masjid tersebut tanpa ada khilaf. Dan menurut dzhohir madzhab Imam Ahmad sholat tersebut tiadk sah, dikarenakan larangan dan laknat yang datang pada perkara ini" (Al-Amru bil ittibaa' hal 134)

7.      Sholat di sisi kuburan. As-Suyuthi berkata :

"Demikian pula sholat di sisi kuburan maka hukumnya makruh, meskipun tidak dibangun di atasnya masjid. Karena seluruh tempat yang digunakan untuk sholat maka ia adalah masjid, meskipun tidak ada bangunannya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasalam telah melarang hal itu dengan sabdanya, "Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat kearah kuburan", beliau juga bersabda, "Jadikanlah sebagian sholat kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan". Sebagaimana kuburan bukanlah tempat sholat maka janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti itu. Dan tidak sah sholat diantara kuburan-kuburan menurut madzhab Imam Ahmad, dan hukumnya makruh menurut selain beliau" (Al-Amru bil ittibaa' hal 135).

As-Suyuthi rahimahullah juga berkata ;

"Dan juga sesungguhnya sebab peribadatan terhadap Laatta adalah pengagungan terhadap orang sholeh….dahulu Laatta membuat adonan makanan di yaman untuk diberikan kepada para jama'ah haji. Tatkala ia meninggal maka mereka I'tikaf di kuburannya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya Wad, Suwaa', Yaghuuts, Ya'uuq, dan Nasr adalah nama-nama orang-orang sholeh yang ada antara zaman Nabi Adam dan zaman Nabi Nuh 'alaihimas salam. Mereka memiliki para pengikut yang meneladani mereka. Tatkala mereka meninggal  maka para pengikut mereka berkata, "Seandainya kita membuat patung-patung mereka". Tatkala para pengikut tersebut meninggal dan datang kaum yang lain setelah mereka maka datanglah Iblis kepada mereka dan berkata, "Mereka dahulu menyembah patung-patung tersebut, dan dengan sebab mereka turunlah hujan". Maka merekapun menyembah patung-patung tersebut. Hal ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir dengan sanadnya"

Dan karena sebab inilah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang, dan sebab inilah yang menjerumuskan banyak umat-umat kepada syirik akbar atau yang dibawahnya. Karenanya engkau dapati banyak kaum dari kalangan orang-orang sesat yang mereka merendahkan diri di kuburan orang-orang sholeh, mereka khusyu' dan merendah. Mereka menyembah orang-orang sholeh tersebut dengan hati-hati mereka dengan suatu ibadah yang tidak mereka lakukan tatkala mereka di rumah-rumah Allah, yaitu masjid-masjid. Bahkan tidak mereka lakukan tatkala di waktu sahur di hadapan Allah ta'aala. Dan mereka berharap dengan sholat dan doa di sisi kuburan apa-apa yang mereka tidak harapkan tatkala mereka di masjid-masjid yang boleh bersafar ke mesjid-mesjid tersebut (yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjid aqso-pen). Ini adalah kerusakan yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menghilangkannya secara total, bahkan sampai-sampai Nabi melarang untuk sholat di kuburan secara mutlak, meskipun orang yang sholat tidak bermaksud untuk mencari keberkahan kuburan atau keberkahan tempat, dalam rangka menutup perkara yang bisa mengantarkan kepada kerusakan/mafsadah tersebut, yang menyebabkan disembahnya berhala-berhala" (Al-Amru bil ittibaa' 138-139)

As-Suyuti juga berkata ;

"Adapun jika seseorang bertujuan untuk sholat di kuburan atau berdoa untuk dirinya pada urusan-urusan pentingnya dan hajat kebutuhannya dengan mencari keberkahan dan mengharapkan dikabulkannya doa di kuburan, maka ini jelas bentuk penentangan kepada Allah dan RasulNya, serta penyelisihan terhadap agama dan syari'atnya  dan perbuatan bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah dan RasulNya serta para imam kaum muslimin yang mengikuti atsar dan sunnah-sunnahnya. Karena bertujuan menuju kuburan untuk berdoa mengharapkan untuk dikabulkan merupakan perkara yang dilarang, dan lebih dekat kepada keharaman.

Para sahabat radhiallahu 'anhum beberapa kali mendapati musim kemarau dan juga menghadapi masa-masa sulit setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas kenapa mereka tidak datang ke kuburan Nabi lalu beristighotsah dan meminta hujan di kuburan beliau –padahal beliau adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah-?. Bahkan Umar bin Al-Khotthob membawa Al-'Abbas paman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke musholla lalu Umar meminta Abbas untuk berdoa meminta hujan, dan mereka tidak meminta hujan di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam" (Al-Amru bil ittibaa' 139)

Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid'ah Hasanah


adakah bid'ah hasanahSyubhat-syubhat para pendukung bid'ah hasanah
(Imam Syafii mendukung bid'ah hasanah??)



Syubhat pertama :

Mereka berdalil dengan perkataan beberapa ulama yang mengesankan dukungan terhadap adanya bid'ah hasanah.

Diantaranya adalah perkataan Imam As-Syafi'i dan perkatan Al-Izz bin Abdissalam rahimahumallah.

Adapun perkataan Imam As-Syafi'i maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah dengan sanad beliau hingga Harmalah bin Yahya-,

ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
Dari Harmalah bin Yahya berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah yang tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)

Sebelum menjelaskan maksud dari perkataan Imam As-Syafii ini apalah baiknya jika kita menelaah definisi bid'ah menurut beberapa ulama, sebagaiamana berikut ini:

Definisi bid'ah menurut para ulama

Imam Al-'Iz bin 'Abdissalam berkata :

هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ

((Bid'ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Qowa'idul Ahkam 2/172)

Imam An-Nawawi berkata :

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

((Bid'ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22)

Imam Al-'Aini berkata :

هِيَ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ

((Bid'ah adalah perkara yang tidak ada asalnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan dikatakan juga (bid'ah adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada juga di masa para sahabat)) (Umdatul Qori' 25/37)

Ibnu 'Asaakir berkata :

مَا ابْتُدِعَ وَأُحْدِثَ مِنَ الأُمُوْرِ حَسَناً كَانَ أَوْ قَبِيْحًا

((Bid'ah adalah perkara-perkara yang baru dan diada-adakan baik yang baik maupun yang tercela)) (Tabyiinu kadzibil muftari hal 97)

Al-Fairuz Abadi berkata :

الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ

((Bid'ah adalah perkara yang baru dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga : apa yang diada-adakan sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan)) (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231)

Dari defenisi-defenisi di atas maka secara umum dapat kita simpulkan bahwa bid'ah adalah segala perkara yang terjadi setelah Nabi, sama saja apakah perkara tersebut terpuji ataupun tercela dan sama saja apakah perkara tersebut suatu ibadah maupun perkara adat.

Karena keumuman ini maka kita dapati sekelompok ulama yang membagi hukum bid'ah menjadi dua yaitu bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, bahkan ada yang membagi bid'ah sesuai dengan hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah), sebagaimana pembagian bid'ah menurut Al-'Iz bin Abdissalam yang mengklasifikasikan bid'ah menjadi lima (wajib, mustahab, haram, makruh, dan mubah), beliau berkata,

"Bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang wajib, bid'ah yang haram, bid'ah yang mandub (mustahab), bid'ah yang makruh, dan bid'ah yang mubah. Cara untuk mengetahui hal ini yaitu kita hadapkan bid'ah tersebut dengan kaidah-kaidah syari'at, jika bid'ah tersebut masuk dalam kaidah-kaidah pewajiban maka bid'ah tersebut wajib, jika termasuk dalam kaidah-kaidah pengharaman maka bid'ah tersebut haram, jika termasuk dalam kaidah-kaidah mustahab maka hukumnya mustahab, dan jika masuk dalam kaidah-kaidah mubah maka bid'ah tersebut mubah. Ada beberapa contoh bid'ah yang wajib, yang pertama berkecimpung dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu tersebut dipahami perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari'at hukumnya wajib dan tidak mungkin menjaga syari'at kecuali dengan mengenal ilmu nahwu, dan jika suatu perkara yang wajib tidak sempurna kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang lain tersebut hukumnya wajib. Contoh yang kedua adalah menjaga kata-kata yang ghorib (asing maknanya karena sedikit penggunaannya dalam kalimat) dalam Al-Qur'an dan hadits, contoh yang ketiga yaitu penulisan ushul fiqh, contoh yang keempat pembicaraan tentang al-jarh wa at-ta'dil untuk membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang lemah. Kaidah-kaidah syari'at menunjukan bahwa menjaga syari'at hukumnya fardlu kifayah pada perkara-perakra yang lebih dari ukuran yang ditentukan dan tidaklah mungkin penjagaan syari'at kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan (di atas)."

Ada beberapa contoh bid'ah yang haram, diantaranya madzhab Qodariyah, madzhab Al-Jabariah, madzhab Al-Murji'ah, dan membantah mereka termasuk bid'ah yang wajib.

Ada beberapa contoh bid'ah yang mustahab diantaranya pembuatan Ar-Robt dan sekolah-sekolah, pembangunan jembatan-jembatan, dan setiap hal-hal yang baik yang tidak terdapat pada masa generasi awal, diantaranya juga sholat tarawih, pembicaraan pelik-pelik tasowwuf (sejenis mau'idzoh yang sudah ma'ruf), perdebatan di tengah keramaian orang banyak dalam rangka untuk beristidlal tentang beberapa permasalahan jika dimaksudkan dengan hal itu wajah Allah. Contoh-contoh bid'ah yang makruh diantaranya menghiasi masjid-masjid, menghiasi mushaf (Al-Qur'an), adapun melagukan Al-Qur'an hingga berubah lafal-lafalnya dari bahasa Arab maka yang benar ia termasuk bid'ah yang haram.

Contoh-contoh bid'ah yang mubah diantaranya berjabat tangan setelah sholat subuh dan sholat ashar, berluas-luas dalam makanan dan minuman yang lezat, demikian juga pakaian dan tempat tinggal, memakai at-thoyaalisah (sejenis pakaian yang indah/mahal) dan meluaskan pergelangan baju. Terkadang beberapa perkara diperselisihkan (oleh para ulama) sehingga sebagian ulama memasukannya dalam bid'ah yang makruh dan sebagian ulama yang lain memasukannya termasuk sunnah sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan sepeninggal beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, hal ini seperti beristi'adzah dalam sholat dan mengucapkan basmalah." (Qowa'idul ahkam 2/173-174)

Ada 3 hal penting berkaitan dengan pengklasifikasian ini:


Pertama : Jika kita perhatikan perkataan Al-'Iz bin Abdissalam secara lengkap dengan memperhatikan contoh-contoh penerapan dari pengklasifikasiannya terhadap bid'ah maka sangatlah jelas maksud beliau adalah pengklasifikasian bid'ah menurut bahasa, karena contoh-contoh yang beliau sebutkan dalam bid'ah yang wajib maka contoh-contoh tersebut adalah perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah al-mursalah (yaitu perkara-perkara yang beliau contohkan yang berkaitan dengan bid'ah wajib) bahkan beliau dengan jelas menyatakan bahwa syari'at tidak mungkin dijalankan kecuali dengan bid'ah yang wajib tersebut.

As-Syathibi berkata "Sesungguhnya Ibnu Abdissalam yang nampak darinya ia menamakan maslahah mursalah dengan bid'ah karena perkara-perkara maslahah mursalah secara dzatnya tidak terdapat dalam nas-nas yang khusus tentang dzat-dzat mashlahah mursalah tersebut meskipun sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at…dan ia termasuk para ulama yang berpendapat dengan mashlahah mursalah, hanya saja ia menamakannya bid'ah sebagaimana Umar menamakan sholat tarawih bid'ah" (Al-I'tishom 1/192)

Demikian juga bid'ah yang mustahab, berkaitan dengan wasilah dalam menegakkan agama. Sholat tarawih adalah termasuk perbuatan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan sholat tarawih secara berjama'ah bersama para sahabatnya beberapa malam. Dan pada tahun yang lain Nabi meninggalkan tarawih karena dikawatirkan akan diwajibkan karena tatkala itu masih zaman diturunkannya wahyu (ta'syri'). Hal ini menunjukan pada asalnya Nabi sholat malam bersama para sahabatnya dan di waktu yang lain beliau meninggalkannya karena kekawatiran akan diwajibkan. Namun kekawatiran ini tidak terdapat lagi di zaman Abu Bakar dan Umar. Hanya saja Abu akar tidak melaksanakan sholat tarawih karena ada dua kemungkinan, yang pertama karena mungkin saja ia memandang bahwa sholat orang-orang di akhir malam dengan keadaan mereka masing-masing lebih baik dari pada sholat di awal malam dengan mengumpulkan mereka pada satu imam (hal ini sebagaimana disebutkan oleh At-Thurtusi), atau karena kesibukan beliau mengurus negara terutama dengan munculnya orang-orang yang murtad sehingga beliau harus memerangi mereka yang hal ini menyebabkan beliau tidak sempat mengurusi sholat tarawih. (lihat Al-I'tishom 2/194)

Demikian contoh-contoh lain dari bid'ah mustahab (hasanah) yang disampaikan oleh beliau diantaranya : pembangunan sekolah-sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu, dan pembicaraan tentang pelik-pelik tasawwuf yang terpuji adalah termasuk bab mau'izhoh (nasehat) yang telah dikenal.

Kedua : Dalam contoh-contoh bid'ah yang disyari'atkan (baik bid'ah yang wajib maupun bid'ah yang mustahab) sama sekali beliau tidak menyebutkan bid'ah-bid'ah yang dikerjakan oleh para pelaku bid'ah (Seperti sholat rogoib, maulid Nabi, peringatan isroo mi'rooj, tahlilan, dan lain-lain) dengan dalih bahwa bid'ah tersebut adalah bid'ah hasanah, bahkan beliau dikenal dengan seorang yang memerangi bid'ah.

Ketiga : Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah hasanah.

Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz bin Abdissalam),

"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)

Beliau ditanya : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar hukumnya mustahab atau tidak? Doa setelah salam dari seluruh sholat mustahab bagi imam atau tidak? Jika engkau berkata hukumnya mustahab maka (tatkala berdoa) sang imam balik mengahadap para makmum dan membelakangi kiblat atau tetap menghadap kiblat?...

Jawab : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.

Setelah sholat Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beliau berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…

Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut, dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut" (Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)

Beliau juga menyatakan bahwa mengirim bacaan qur'an kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa beliau hal 96). Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)

Pengklasifikasian bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, "Dan bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang jelek dan bid'ah hasanah", kemudian beliau menukil perkataan Al-'Iz bin Abdissalam dan perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas (lihat Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22-23).


Kembali pada perkataan Imam Asy-Syafi'i :

Dari Harmalah bin Yahya berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah yang tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)

Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkataan Imam As-Syafi'i ini :

Pertama : Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid'ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob :"Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)". Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Kedua : Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi'i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23)


"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi'i menyebutkan bahwa bid'ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi'i menghendaki dengan bid'ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid'ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

Berkata Ibnu Rojab, "Adapun maksud dari Imam Asy-Syafi'i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwasanya pokok dari bid'ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari'ah yang bisa dijadikan landasan, dan inilah bid'ah yang dimaksudkan dalam definisi syar'i (terminology). Adapun bid'ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid'ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah" (Jami'ul 'Ulum wal Hikam 267)

Ketiga : Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid'ahpun dari bid'ah-bid'ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid'ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid'ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid'ah zaman sekarang ini.

Diantara amalan-amalan yang dianggap bid'ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafii adalah :

- Acara mengirim pahala buat mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.

Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur'an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:

"Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi'I adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…" (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
- Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai mesjid atau tempat ibadah

Imam As-Syafi'I berkata :

وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس

"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul Muhadzdzab 5/280)

Bahkan Imam As-Syafii dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ... وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك

"Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan diatas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan…

Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat para fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)

- Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu


Berkata Abu Syaamah :

"Imam As-Syafi'i berkata : Aku benci seseroang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 48)

Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi

« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »

"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian" (yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)

Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.

Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!

Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari'atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??


Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm

"Dan aku suka jika imam menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izhoh, dan membaca qiroa'ah, dan tidak menambah lebih dari itu".

Imam As-Syafii berkata : "Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada 'Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.

Imam As-Syafii berkata, "Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya" (Al-Umm 2/416-417)

Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang menkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum'at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu 'Athoo') yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah). Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku benci" yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A'lam.

Keempat : Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"

(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)

Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.


Kesimpulan :

Pertama : Ternyata banyak ulama yang menyebutkan mashlahah mursalah dengan istilah bid'ah hasanah. Karena memang dari sisi bahasa bahwasanya perkara-perkara yang merupakan mashlahah mursalah sama dengan perkara-perkara bid'ah dari sisi keduanya sama-sama tidak terdapat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya semua sepakat bahwa ilmu jarah wa ta'dil hukumnya adalah wajib, demikian juga mempelajari ilmu nahwu, namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah atau bid'ah yang wajib (sebagaimana Al-Izz bin Abdissalam) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah (sebagaimana Imam As-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tishoom). Demikian juga semuanya sepakat bahwa membangun madrasah-madrasah agama hukumnya adalah mandub (dianjurkan) namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah (bid'ah mandubah) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah.

Meskipun terjadi khilaf diantara mereka tentang hukum permasalahan tertentu maka hal itu adalah khilaf dalam penerapan saja yang khusus berkaitan dengan permasalahan itu saja yang khilaf itu kembali dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, khilaf mereka bukan pada asal (pokok kaidah) tentang pencelaan terhadap bid'ah dan pengingkarannya.

Namun bagaimanapun lebih baik kita meninggalkan istilah klasifikasi bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah karena dua sebab berikut

a. Beradab dengan sabda Nabi, karena bagaimana pantas bagi kita jika kita telah mendengarkan sabda Nabi ((semua bid'ah itu sesat)) lantas kita mengatakan ((tidak semua bid'ah itu sesat, tapi hanya sebagian bid'ah saja))
b. Pengklasifikasian seperti ini terkadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk melegalisasikan sebagian bid'ah (padahal para imam yang berpendapat dengan pengkasifikasian bid'ah mereka berlepas diri dari hal ini), yang hal ini mengakibatkan terancunya antara sunnah dan bid'ah

Kedua : Para ulama yang dituduh mendukung bid'ah hasanah (seperti Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam As-Syafi'i) ternyata justru membantah bid'ah-bid'ah yang tersebar di masyarakat yang dinamakan dengan bid'ah hasanah

Ketiga : Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam yang juga bermadzhab syafiiyah yang dituduh mendukung bid'ah hasanah ternyata tidak mendukung bid'ah-bid'ah hasanah yang sering dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi'i. Oleh karenanya saya meminta kepada orang-orang yang melakukan bid'ah -dan berdalil dengan perkataan Imam As-Syafii atau perkataan Al-Izz bin Abdisalaam- agar mereka memberikan satu contoh atau dua contoh saja bid'ah hasanah yang dipraktekan oleh kedua imam ini !!???

Sebagai tambahan penjelasan, berikut ini penulis menyampaikan perbedaan antara bid'ah hasanah dengan maslahah mursalah :

Maslahah mursalah harus memenuhi beberapa kriteria yaitu
1 Maslahah mursalah sesuai dengan maqosid syari'ah yaitu tidak bertentangan dengan salah satu usul dari usul-usul syari'ah maupun dalil dari dalil-dalil syar'i, berbeda dengan bid'ah

2 Maslahah mursalah hanyalah berkaitan dengan perkara-perkara yang bisa dipikirkan kemaslahatannya dengan akal (karena sesuatu yang bisa diketahui memiliki maslahah yang rajihah atau tidak adalah seauatu yang bisa dipikirkan dan dipandang dengan akal), artinya jika maslahah mursalah dipaparkan kepada akal-akal manusia maka akan diterima

Oleh karena itu maslahah mursalah tidaklah berkaitan dengan perkara-perkara peribadatan karena perkara-perkara peribadatan merupakan perkara yang tidak dicerna oleh akal dengan secara pasti (jelas) dan secara terperinci (hanyalah mungkin diketahui hikmah-hikmahnya), seperti wudhu, tayammum, sholat, haji, puasa, dan ibadaah-ibadah yang lainnya.

Contohnya thoharoh (tata cara bersuci) dengan berbagai macamnya yang dimana setiap macamnya berkaitan khusus dengan peribadatan yang mungkin tidak sesuai dengan pemikiran. contohnya keluarnya air kencing dan kotoran yang merupakan najis maka penyuciannya tidak hanya cukup dengan membersihkan tempat keluar kedua benda tersebut namun harus juga dengan berwudhu (meskipun anggota tubuh untuk berwudhu dalam keadaan bersih dan suci), kenapa demikian ??, sebaliknya jika anggota tubuh untuk berwudhu kotor namun tanpa disertai hadats maka tidak wajib untuk berwudhu, kenapa demikian?? kita tidak bisa mencernanya secara terperinci. Demikian juga halnya dengan tayammum, tanah yang sifatnya mengotori bisa menggantikan posisi air (yang sifatnya membersihkan) tatkala tidak ada air, kenapa demikan??, tidak bisa kita cerna dengan jelas, pasti dan terperinci. Demikan juga ibadah-ibadah yang lainnya seperti sholat dan haji terlalu banyak perkara-perkara yang tidak bisa kita cernai. Contohnya tentang tata cara sholat, jumlah rakaat, waktu-waktu sholat, hal-hal yang dilarang tatkala berihrom, dan lain sebagainya. Sungguh benar perkataan Ali لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لكان أَسفَلُ الخُفِّ أولى بالمسحِ من أعلاه ((Kalau memang agama dengan akal tentu yang lebih layak untuk di usap adalah bagian bawah khuf dari pada mengusap bagian atasnya)).

3 Maslahah mursalah kembali pada salah satu dari dua perkara dibawah ini

a. Bab wasilah (perantara) bukan tujuan, dan termasuk dalam kaidah مَا لاَ يَتِمُّ الوَلجبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجب ((sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan perkara yang lain maka perkara tersebut juga hukumnya wajib)), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka penyempurnaan pelaksaan salah satu dari dhoruriaat dalam agama. Contohnya seperti pengumpulan Al-Qur'aan, pemberian harokat pada Al-Qur'aan, mempelajari ilmu nahwu, mempelajari ilmu jarh wa ta'diil, yang semua ini merupakan perkara-perkara yang tidak ada di zman Nabi hanya saja merupakan maslahah mursalah
b. Bab takhfif (peringanan), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka menolak kesulitan yang selalu melazimi.
Jika demikian maka kita mengetahui bahwa bid'ah berbeda bahkan bertentangan dengan maslahah mursalah, karena obyek dari maslahah mursalah adalah perkara yang bisa dicerna dan ditangkap dengan akal secara terperinci seperti perkara-perkara adat, berbeda dengan perkara-perkara ibadat, oleh karena peribadatan sama sekali bukanlah obyek dari maslahah mursalah. Adapun bid'ah adalah sebalikinya yang menjadi obyeknya adalah peribadatan. Oleh karena itu tidak butuh untuk mengadakan peribadatan-peribadatan yang baru karena tidak bisa dicerna secara terperinci berbeda dengan perkara-perkara adat yang berkaitan tata cara kehidupan maka tidak mengapa diadakannya perkara-perkara yang baru. Para ulama telah menjelaskan bahwa asal hukum dalam peribadatan adalah haram hingga ada dalil yang menunjukan akan keabsahannya, berbeda dengan perkara-perkara adat asal hukumnya adalah boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya. Demikian juga perkara-perkara bid'ah biasanya maksudnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah karena pelakunya tidak puas dengan syariat yang dibawa oleh Nabi, maka ia bukanlah termasuk maslahah mursalah karena di antara tujuan dari maslahah mursalah adalah untuk peringanan.

Dan perbedaan yang paling jelas bahwasanya masalahah mursalah adalah wasilah untuk bisa melaksanakan seeuatu perkara dan bukan tujuan utama, berbeda dengan bid'ah.

Sebagaimana Engkau Menjalani Hidupmu Demikianlah Kondisimu Tatkala Ajal Menjemputmu…..!!!



Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
"Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya" (HR Muslim no 2878)
Berkata Al-Munaawi, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ "Yaitu ia meninggal di atas kehidupan yang biasa ia jalani dan ia dibangkitkan di atas hal itu" (At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 2/859)
Para pembaca yang budiman… kita semua tahu bahwasanya kematian datang tiba-tiba…tidak peduli dengan kondisi seorang hamba apakah dalam keadaan ketaatan kepada Allah atau dalam keadaan sedang bermaksiat…, apakah dalam keadaan sakit ataupun dalam keadaan sehat… semuanya terjadi tiba-tiba…

Seorang penyair berkata :

تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي***  إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
Berbekallah ketakwaan karena sesungguhnya engkau tidak tahu…
Jika malam telah tiba apakah engkau masih bisa hidup hingga pagi hari
وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ *** وَكَمْ مِنْ عَلِيْلٍ عَاشَ حِيْناً مِنَ الدَّهْرِ
Betapa banyak orang yang sehat kemudian meninggal tanpa didahului sakit…
Dan betapa banyak orang yang sakit yang masih bisa hidup beberapa lama
فَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا *** وَقَدْ نُسِجَتْ أَكْفَانُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِِي
Betapa banyak pemuda yang tertawa di pagi dan petang hari
Padahal kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar
وَكَمْ مِنْ صِغَارٍ يُرْتَجَى طُوْلُ عُمْرِهِمْ *** وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَامُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ
Betapa banyak anak-anak yang diharapkan panjang umur…
Padahal tubuh mereka telah dimasukkan dalam kegelapan kuburan
وَكَمْ مِنْ عَرُوْسٍ زَيَّنُوْهَا لِزَوْجِهَا *** وَقَدْ قُبِضَتْ أَرْوَاحُهُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Betapa banyak mempelai wanita yang dirias untuk dipersembahkan kepada mempelai lelaki…
Padahal ruh mereka telah dicabut tatkala di malam lailatul qodar

Tentunya setiap kita berharap dianugrahi husnul khotimah… ajal menjemput tatkala kita sedang beribadah kepada Allah… tatkala bertaubat kepada Allah…sedang ingat kepada Allah… , akan tetapi betapa banyak orang yang berharap meninggal dalam kondisi husnul khotimah akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya…. Suul khootimah… maut menjemputnya tatkala ia sedang bermaksiat kepada Penciptanya dan Pencipta alam semesta ini…
Bagaimana mungkin seseorang meninggal dalam kondisi husnul Khotimah sementara hari-harinya ia penuhi dengan bermaksiat kepada Allah… hari-harinya ia penuhi tanpa menjaga pendengarannya… pandangannya ia umbar… hatinya dipenuhi dengan beragam penyakit hati… lisannya jauh dari berdzikir dan mengingat Allah…
Ingatlah para pembaca yang budiman… sesungguhnya seseorang akan dicabut nyawanya berdasarkan kehidupan yang biasa ia jalankan…
Berikut ini adalah kisah-kisah yang mencoba menggugah hati kita untuk membiasakan diri beramal sholeh sehingga tatkala maut menjemput kitapun dalam keadaan beramal sholeh :

Kisah Pertama: kisah seorang ahli ibadah Abdullah bin Idriis (190-192 H)
عَنْ حُسَيْن الْعَنْقَزِي قَالَ: لَمَّا نَزَلَ بِابْنِ إِدْرِيْسَ الْمَوْتُ بَكَتْ ابْنَتُهُ فَقَالَ: لاَ تَبْكِي يَا بُنَيَّة، فَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْآنَ فِي هَذَا الْبَيْتِ أَرْبَعَةَ آلاَف خَتْمَة
Dari Husain Al-'Anqozi, ia bertutur :
Ketika kematian mendatangi Abdullah bin Idris, maka putrinya pun menangis, maka Dia pun berkata: "Wahai putriku, jangan menangis! Sungguh, Aku telah mengkhatamkan al Quran dirumah ini 4000 kali" (Lihat Taariikh Al-Islaam karya Ad-Dzahabi 13/250, Ats-Tsabaat 'inda Al-Mamaat karya Ibnil Jauzi hal 154)

Kisah kedua : Kisah Abu Bakr bin 'Ayyaasy (193 H)
لما حضرت أبا بكر بن عَيَّاش الوفاةُ بَكَتْ أُخْتُهُ فقال : لاَ تَبْكِ اُنْظُرِي إِلىَ تِلْكَ الزَّاوِيَةِ الَّتِي فِي الْبَيْتِ قَدْ خَتَمَ أَخُوْكَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَلَف خَتْمَة
Tatkala kematian mendatangi Abu Bakr bin 'Ayaasy maka saudara perempuannya pun menangis. Maka Abu Bakrpun berkata kepadanya, "Janganlah menangis, lihatlah di pojok rumah ini, sesungguhnya saudara laki-lakimu ini telah mengkhatamkan Al-Qur'an di situ sebanyak 18 ribu kali" (Lihat Hilyatul Auliyaa' karya Abu Nu'aim 8/304 dan Taariikh Baghdaad 14/383)
Demikianlah para pembaca yang budiman…Ahli ibadah ini Abdullah bin Idris telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 4000 kali… Abu Bakr bin 'Ayyaasy telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 18 ribu kali…..semuanya demi menghadapi waktu yang sangat kritis ini… waktu untuk meninggalkan dunia ke alam akhirat yang abadi….

Kisah Ketiga : Kisah Aamir bin Abdillah Az-Zubair
Mush'ab bin Abdillah bercerita tentang 'Aamir bin Abdillah bin Zubair yang dalam keadaan sakit parah :
سمع عامر المؤذن وهو يجود بنفسه فقال: خذوا بيدي إلى المسجد، فقيل: إنك عليل فقال: أسمع داعي الله فلا أجيبه فأخذوا بيده فدخل مع الإمام في صلاة المغرب فركع مع الإمام ركعة ثم مات

'Aaamir bin Abdillah mendengar muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat maghrib, padahal ia dalam kondisi sakaratul maut pada nafas-nafas terakhir, maka iapun berkata, “Pegang tanganku ke mesjid…!!” merekapun berkata, "Engkau dalam kondisi sakit !" , Diapun berkata,”Aku mendengar muadzin mengumandangkan adzan sedangkan aku tidak menjawab (panggilan)nya? Pegang tanganku…! Maka merekapun memapahnya lalu iapun sholat maghrib bersama Imam berjama'ah, diapun shalat satu rakaat kemudian meninggal dunia. (Lihat Taariikh Al-Islaam 8/142)
Inilah kondisi seorang alim yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan beribadah sesegera mungkin… bahkan dalam kondisi sekarat tetap ingin segera bisa sholat berjama'ah…. Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita… yang tatkala dikumadangkan adzan maka hatinya berbisik : "Iqomat masih lama…., entar lagi aja baru ke mesjid…, biasanya juga imamnya telat ko'…, selesaikan dulu pekerjaanmu.. tanggung…", dan bisikan-bisikan yang lain yang merupakan tiupan yang dihembuskan oleh Iblis dalam hatinya.

Kisah Di masa Sekarang:
Pertama : Kisah Penumpang Kapal Mesir “Salim Express”
Laki-laki ini telah Allah selamatkan dari tenggelam pada kecelakaan kapal, “Salim Express” menceritakan kisah istrinya yang tenggelam dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji. Orang-orang berteriak-teriak “kapal akan tenggelam” maka aku pun berteriak kepada istriku …“ayo cepat keluar!”
Dia pun berkata, “Demi Allah aku tidak akan keluar sampai aku memakai hijabku dengan sempurna.”
Suaminya pun berkata,” inikah waktu utk memakai hijab??? Cepat keluar! Kita akan mati”.
Dia pun berkata, “Demi Allah aku tidak akan keluar kecuali jika telah kukenakan hijabku dengan sempurna, seandainya aku mati aku pun akan bertemu Allah dalam keadaan mentaati-Nya”. Maka dia pun memakai hijabnya dan keluar bersama suaminya, maka ketika semuanya hampir tenggelam, dia memegang suaminya dan berkata, “Aku minta engkau bersumpah dengan nama Allah, apakah engkau ridho terhadapku?” Suaminya pun menangis. Sang istripun berkata, ”Aku ingin mendengarnya.” Maka Suaminya Menjawab, “Demi Allah aku ridho terhadapmu.” Maka wanita tersebut pun menangis dan berucap ”Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah” senantiasa dia ulangi syahadat tersebut sampai tenggelam.
Suaminya pun menangis dan berkata, “Aku berharap kepada Allah agar mengumpulkan aku dan dia di surga”
Kedua : Kisah seorang tukang adzan (Muadzdzin)
Dia adalah seorang yang selama 40 tahun telah mengumandangkan adzan, tanpa mengharap imbalan selain wajah Allah. Sebelum meninggal ia sakit parah, maka dia pun didudukkan di atas tepat tidur. Dia tak dapat berbicara lagi dan juga untuk pergi kemasjid. Ketika sakit semakin parah diapun menangis, orang-orang disekitarnya melihat adanya tanda-tanda kesempitan di wajahnya. Seakan-akan dia berucap ya Allah aku telah beradzan selama 40 tahun, engkau pun tahu aku tidak mengharap imbalan kecuali dari Engkau kemudian akan terhalangi dari adzan di akhir hidupku?. Kemudian berubahlah tanda-tanda diwajahnya menjadi kegembiraan dan kesenangan. Anak-anaknya bersumpah bahwasanya  ketika tiba waktu adzan ayah mereka pun berdiri di atas tempat tidurnya dan menghadap kiblat kemudian mengumandangkan adzan di kamarnya, ketika sampai pada kalimat adzan yang terkahir "laa ilaaha illallah” dia pun jatuh di atas tempat tidurnya. Anak-anaknya pun segera menghampirinya, mereka pun mendapati ruhnya telah menuju Allah.

Para pembaca yang budiman…jika kematian telah tiba maka seluruh harta dan kekuasaan yang telah kita usahakan dan perjuangakan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan peras keringat akan sirna…
Kisah Khalifah Al-Ma'muun,
Ketika sakaratul maut mendatanginya diapun memanggil para tabib di sekelilingnya berharap agar bisa menyembuhkan penyakitanya. Tatkala ia merasa berat (parah sakitnya) maka ia berkata, "Keluarkanlah aku agar aku melihat para pasukan perangku dan aku melihat anak buahku serta aku menyaksikan kekuasaanku", takala itu di malam hari. Maka Khalifah Al-Makmuun pun dikeluarkan lalu ia melihat kemah-kemah serta pasukan perangnya yang sangat banyak jumlahnya bertebaran di hadapannya, dan dinyalakan api. (Tatkala melihat itu semua) iapun berkata, يَا مَنْ لاَ يَزُوْلُ مُلْكُهُ اِرْحَمْ مَنْ قَدْ زَالَ مُلْكُهُ “Wahai Dzat yang tidak akan pernah musnah kerajaannya… Sayangilah orang yang telah hilang kerajaannya…". Lalu iapun pingsan.
Kemudian datanglah seseorang disampingnya hendak mentalqinnya kalimat syahadah, lalu Khalafah Al-Makmuun membuka kedua matanya tatkala itu dalam keadaan wajahnya yang merah dan berat, ia berusaha untuk berbicara akan tetapi ia tidak mampu. Lalu iapun memandang ke arah langit dan kedua matanya dipenuhi dengan tangisan maka lisannya pun berucap tatkala itu, يَا مَنْ لاَ يَمُوْتُ اِرْحَمْ مَنْ يَمُوْتُ "Wahai Dzat Yang tidak akan mati sayangilah hambaMu yang mati", lalu iapun meninggal dunia. (Lihat Muruuj Adz-Dzahab wa Ma'aadin Al-Jauhar karya Al-Mas'uudi 2/56 dan Taariik Al-Islaam karya Adz-Dzahabi 15/239)

Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwaan:
Tatkala ajal menjemput Khalifah Abdul Malik bin Marwaan maka iapun memerintahkan untuk dibukakan pintu istana, tiba-tiba ada seorang penjaga istana yang sedang mengeringkan bajunya di atas batu, maka iapun berkata, "Siapa ini?", maka mereka menjawab, "Seorang penjaga istana". Maka iapun berkata, "Seandainya aku adalah seorang penjaga istana…". Ia juga berkata, "Seandainya aku adalah budak miliki seorang yang tinggal di pegunungan Tihaamah, lantas akupun menggembalakan kambing di pegunungan tersebut".
Diantara perkataan terakhir yang diucapkannya adalah,
اللَّهُمَّ إِنْ تَغْفِرْ تَغْفِرْ جَمًّا، لَيْتَنِي كُنْتُ غَسَّالاً أَعِيْشُ بِمَا أَكْتَسِبُ يَوْماً بِيَوْمٍ
"Yaa Allah, jika engkau mengampuniku maka berilah pengampunanMu yang luas, seandainya aku hanyalah seorang tukang cuci, aku hidup dari hasil penghasilanku sehari untuk kehidupan sehari"
Dan diriwayatkan bahwsanya tatkala Khalifah Abdul Malik bin Marwan sakit parah maka iapun berkata, "Keluarkanlah aku di beranda istana…", kemudian ia melihat megahnya kekuasaannya lalu iapun berkata, يَا دُنْيَا مَا أَطْيَبَكِ أَنَّ طَوِيْلَكِ لَقَصِيْرٌ وَأَنَّ كَبِيْرَكِ لَحَقِيْرٌ وَأَنْ كُنَّا مِنْكِ لَفِي غُرُوْرٍ "Wahai dunia sungguh indah engkau…, ternyata lamanya waktumu sangatlah singkat, kebesaranmu sungguh merupakan kehinaan, dan kami ternyata telah terpedaya olehmu". Lalu iapun mengucapkan dua bait berikut ini ;
إِنْ تُنَاقِشْ يَكُنْ نِقَاشُكَ يَارَبَّ  عَذَابًا لاَ طَوْقَ لِي بِالْعَذَابِ
Jika engkau menyidangku wahai Robku maka persidanganMu itu merupakan sebuah adzab yang tidak mampu aku hadapi
أَوْ تَجَاوَزْتَ فَأَنْتَ رَبٌّ صَفُوْحٌ  عَنْ مُسِيْءٍ ذُنُوْبَهُ كَالتُّرَابِ
Atau jika engkau memaafkan aku maka engkau adalah Tuhan Yang Maha memaafkan dosa-dosa seorang hamba yang bersalah"
(Lihat Mukhtashor Taariikh Dimasyq 5/88-89 dan Al-Kaamil fi At-Taariikh 4/238-239)
Para pembaca yang budiman…. Janganlah terpedaya dengan gemerlapnya dunia ini…
Rasulullah bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
"Perbanyaklah kalian mengingat penghancur keledzatan", yaitu kematian (Dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam irwaa al-goliil 3/145)
Imam Al-Qurthubi berkata: "Ketahuilah sesungguhnya mengingat kematian menyebabkan kegelisahan dalam kehidupan dunia yang akan sirna ini, dan menyebabkan kita untuk senantiasa mengarah ke kehidupan akhirat yang abadi.
Seseorang tidak akan terlepas dari dua kondisi, kondisi lapang dan sulit, kondisi di atas kenikmatan atau di atas ujian. Jika ia berada pada kondisi sempit dan di atas ujian maka dengan mengingat mati akan terasa ringanlah sebagian ujian dan kesempitan hidupnya, karena ujian tersebut tidak akan langgeng dan kematian lebih berat dari ujian tersebut. Atau jika ia berada dalam kondisi penuh kenikmatan maka mengingat mati akan menghalanginya agar tidak terpedaya dengan kenikmatan tersebut"  (At-Tadzkiroh 1/123-124)
Imam Al-Qurthubi juga berkata:
و كان يزيد الرقاشي يقول لنفسه : و يحك يا يزيد من ذا يصلي عنك بعد الموت ؟ من ذا يصوم عنك بعد الموت؟ من ذا يترضى عنك ربَّك بعد الموت؟ ثم يقول : أيها الناس ألا تبكون وتنوحون على أنفسكم باقي حياتكم؟ من الموت طالبه والقبر بيته والثرى فراشه والدود أنيسه وهو مع هذا ينتظر الفزع الأكبر يكون حاله؟ ثم يبكي حتى يسقط مغشيا عليه
Yazzid Ar-Ruqoosyi berkata kepada dirinya : "Celaka engkau wahai Yaziid, siapakah yang akan sholat mewakilimu jika engkau telah meninggal?, siapakah yang akan mewakilimu berpuasa setelah kematianmu?, siapakah yang mendoakan engkau agar Robmu meridhoimu setelah matimu?". Lalu ia berkata, "Wahai manusia, janganlah kalian menangisi diri kalian sepanjang hidup kalian, barangsiapa yang kematian mencarinya, kuburan merupakan rumahnya, tanah merupakan tempat tidurnya, dan ulat-ulat menemaninya, serta ia dalam kondisi demikian menantikan tibanya hari kiamat yang sangat dahysat maka bagaimanakah kondisinya?". Lalu iapun menangis dan menangis hingga jatuh pingsan. (Lihat At-Tadzikorh 1/124)

Kisah penutup :
Dari Abdullah putra Imam Ahmad bin Hambal berkata:
لَمَّا حَضَرَتْ أَبِي الْوَفَاةُ جَلَسْتُ عِنده وَبِيَدِي الْخِرْقَةُ لأَشُدَّ بِهَا لِحْيَيْهِ فَجَعَلَ يَعْرَقُ ثُمَّ يُفِيْقُ ثُمَّ يفتح عينيه ويقول بيده هكذا : "لاَ بَعْدُ" ففعل هذا مرةً وثانيةً، فلما كان في الثالثة قلت له : يَا أَبَةِ أَيُّ شَيْءٍ هَذَا قَدْ لَهَجْتَ بِهِ فِي هَذَا الْوَقْتِ تَعْرَقُ حَتَّى نَقُوْلُ قَدْ قُبِضْتَ ثُمَّ تَعُوْدُ فَتَقُوْلَ : لاَ، لاَ بَعْدُ. فقال لي : يا بُنَيَّ مَا تَدْرِي؟ قلتُ :لاَ، قال : إبليس لعنه الله قائم حذائي عَاضٍّ على أَنَامِلِهِ يقول لي : يا أحمدُ فُتَّنِي فَأَقُوْلُ لَهَ : لاَ بَعْدُ حَتَّى أَمُوْتَ
Tatkala kematian mendatangi ayahku maka akupun duduk disampingnya, dan di tanganku ada sepotong kain untuk mengikat dagu beliau (yang dalam keadaan tidak sadarkan diri). Maka beliaupun mencucurkan keringat lalu beliau tersadar dan membuka kedua mata beliau dan beliau berkata, "Tidak, belum…!" seraya menggerakkan tangan beliau (memberi isyarat penolakan). Lalu beliau melakukan hal yang sama untuk sekali lagi, kedua kali lagi. Dan tatkala beliau mengulangi hal ini (mengucapkan : "Tidak, belum..!, seraya menebaskan tangan beliau) untuk ketiga kalinya maka akupun berkata, "Wahai ayahanda, ada apa gerangan?, engkau mengucapkan perkataan ini dalam kondisi seperti ini?". Engkau mencucurkan keringat hingga kami menyangka bahwa engkau telah meninggal dunia, akan tetapi kembali engkau berkata, "Tidak, tidak…, belum…!". Lalu ia berkata, "Wahai putraku, engkau tidak tahu?", aku berkata, "Tidak". Ia berkata, "Iblis –semoga Allah melaknatnya- telah berdiri dihadapanku seraya menggigit jari-jarinya, dan berkata, "Wahai Ahmad engkau telah lolos dariku", maka aku berkata kepadanya, "Tidak, belum, aku belum lolos dan menang darimu hingga aku meninggal" (lihat Sifat As-Sofwah 2/357)
Kisah ini mengingatkan kepada kita bahwasanya pertempuran melawan Iblis dan para pengikutnya tidak pernah berhenti hingga maut menjemput kita. kita tidak boleh pernah lalai dan merasa telah mengalahkan Iblis, karena Iblis dan para pengikutnya akan senantiasa mengintai dan mencari celah-celah untuk menjeremuskan kita sehingga bisa menemaninya di neraka Jahannam yang sangat panas….!!!!, Maka wasapadalah selalu… melawan musuh yang melihatmu padahal engkau tidak melihatnya… musuh yang senantiasa mendatangimu dari arah depan, belakang, kanan, dan kiri sementara engkau dalam keadaan lalai…. Musuh yang sudah sangat berpengalaman dalam menjerumuskan anak keturunan Adam dengan berbagai metode dan jerat…. Hanya kepada Allahlah kita mohon keselamatan dari musuh yang seperti ini modelnya… walaa haulaa wa laa quwwata illaa billaaah

Saudaraku yang mulia…!!
Allah Yang Maha Mulia telah memberlakukan sunnatullahNya bahwasanya: “Orang yang hidup di atas sesuatu pola/model kehidupan maka ia pun akan mati di atas model tersebut, dan kelak ia akan dibangkitkan di atas model tersebut”
Siapkanlah dirimu menyambut tamu yang akan mendatangimu secara tiba-tiba…yaitu kematian, jangan sampai tamu tersebut menemuimu dalam kondisi engkau sedang bermaksiat kepada Robmu.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengamalkan ilmunya.