Dedy Arieswan
All of this content is sample tyr to replace these content every slider to your content descriptions. Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace it.
Sample Feature Post 2 Title
All of this content is sample tyr to replace these content every slider to your content descriptions. Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace it.
Sample Feature Post 3 Title
All of this content is sample tyr to replace these content every slider to your content descriptions. Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace it.
Jumat, 25 Januari 2013
Hukum Mencium Al-Qur'an
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas
perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf
tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada
Al-Qur`anul Karim.
Petikan Nasihat dari Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari
atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan keberadaannya oleh
kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun
terkadang pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang
semestinya. Artinya, mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan
bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak
menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum
muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu
mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang
hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani t
berikut ini.
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf
tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ
اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara
yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat.”1
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam
neraka.”2
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas
perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf
tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada
Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar.
Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan
Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu
dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?”
Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu
adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum
asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah k itu dibolehkan atau
dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi
peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin
pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia
berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengecup Hajar
Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ
تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah
sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”3
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya
aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu
niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad
yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ اْلأَسْوَدُ مِنَ
الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”4
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul
darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami
menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga
yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak
butuh dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan
pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’
(pengikutan) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang
menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar
hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah
kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita
menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia
memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhum kepadanya untuk
mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid
berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada
mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium
mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan
jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya
dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka
katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya
tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak
pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah
engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau
mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah
(maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat
juga bid’ah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil
dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi
sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama.
Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi
perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya.
Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah
haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat
untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai
perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan)
jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab,
“Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk
taqarrub kepada Allah kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi
mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka
hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan
manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu
sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan
kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah
diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat
manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati
mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan
adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud
kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka
terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa
mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana
mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka
dapatkan dari hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ
فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka
berdirilah.”5
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi
ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya
lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا
(…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ،
فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka
ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”6
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada
manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia
menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak!
Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan
yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di
kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya.
Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita
tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا
أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu
dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku
perintahkan kepada kalian.”7
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat
mendekatkanmu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bila jawabannya, “Iya.” Maka
datangkanlah nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada
nashnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah,
seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang
kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka?
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu memberikan jawabannya dengan pernyataan
beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi
lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat
syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun
untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini
tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan
ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb
kita Subhanahu wa Ta’ala dan juga kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
Merayakan Atau Memperingati Perayaan Malam Nifsu Sya'ban
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
] اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم
نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridloi
Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
] أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما
لم يأذن به الله ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم وإن الظالمين لهم عذاب أليم [.
“Apakah mereka mempunyai sesembahan
sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diridloi Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu
akan memperoleh azab yang pedih” (QS. As syuro, 21).
Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد ".
“Barang siapa yang mengada adakan
sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak
akan diterima”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
" من عمل عملا ليس عليه أمرنا
فهو رد ".
“Barang siapa mengerjakan suatu
perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia
berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah
satu khutbah Jum’at nya :
" أما بعد, فإن خير الحديث كتاب
الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة
ضلالة ".
“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik
baik perkataan adalah Kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan
(dalam agama) adalah yang diada adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan)
itu sesat” (HR.
Muslim).
Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan
hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah
menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan nikmatNya bagi
mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau
menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan
kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan
diada adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada
ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang
ditolak, meskipun niatnya baik.
Para Sahabat dan para Ulama mengetahui hal ini, maka
mereka mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari
padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah
dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan As Syaamah dan
lain lain.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan
oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu
Sya’ban (tanggal 15 sya'ban, red), dan menghususkan pada hari tersebut
dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan
sandaran, ada hadits-hadits yang menerangkan tentang fadlilah malam tersebut,
tetapi hadits-hadits tersebut dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun
hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu /palsu.
Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang
menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan
puasa dan fadlilah sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami
sebutkan sebagian dari ucapan mereka.
Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu
Rajab dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu
sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya
lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh
hadits yang shoheh, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada
dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang
dlo’if.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami
akan menukil pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya
menjadi jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan
untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah
(Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah digariskan
hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka wajib diikuti, dan
apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta
segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan (dalam Al Qur’an dan
As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk
mengerjakannya dan menganggapnya baik.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An
Nisa’ :
] يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله
وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن
كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا [
“Hai orang orang yang beriman,
taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara
kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).
] وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى
الله ذلكم الله ربي عليه توكلت وإليه أنيب [
“Tentang sesuatu apapun kamu
berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat sifat
demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku
kembali” (QS. Asy
syuro, 10).
] قل إن كنتـم تحـبون الله فاتبعـوني
يحببكـم الله ويغفر لكـم ذنوبكـم [.
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu ” (QS. Ali
Imran, 31).
] فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما
شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلم تسليما [.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).
Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna
dengan ayat ayat diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan
agar supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al
Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang
ditetapkan oleh keduanya. Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi iman, dan
merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau di akherat nanti,
dan akan mendapat balasan yang lebih baik.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu
Rajab berkata dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” : para Tabi'in penduduk Syam
(Syiria sekarang) seperti Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan
lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam
Nisfi Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk
pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian
itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke
penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya,
ada juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan
lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas penduduk Hijaz
(Saudi Arabia sekarang), seperti Atho dan Ibnu Abi Mulaikah, dan dinukil oleh
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama fiqih Madinah, yaitu ucapan para
pengikut Imam Malik dan lain lainnya ; mereka mengatakan bahwa semua perbuatan
itu bid’ah, adapun pendapat ulama Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan
adanya dua pendapat :
1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid
dengan berjamaah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir
memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah,
membakar kemenyan, memakai sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan
shalatul lail di masjid, ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia berkata :
"Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara
berjamaah tidak dibid’ahkan", keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al
Karmaniy.
2- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di
masjid untuk shalat, bercerita dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh
dilakukan jika menjalankan sholat khusus untuk dirinya sendiri.
Ini pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli
fiqh dan ulama mereka, Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran,
sedangkan pendapat Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.
Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung
diperingatinya malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan
tentang dua malam hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), dalam satu riwayat
berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah
tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat yang lain berpendapat
bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah disunnahkan, karena
Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in.
Begitu pula tentang malam nisfu sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau
menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan
Tabiin ahli fiqh (yuris prudensi) yang di Syam (syiria), demikian maksud dari
Al Hafidz Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun
tentang malam Nisfi Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat.
Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat
pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam
pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan syariah yang
belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh bagi seorang pun
dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik itu dikerjakan secara
individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi sembunyi ataupun
terang terangan, landasannya adalah keumuman hadits Nabi :
" من عمل عملا ليس عليه أمرنا
فهو رد ".
“Barangsiapa mengerjakan suatu
perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari
perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits
wal bida” :
diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum pernah
melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang menghadiri perayaan
malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul yang dloif, dan tidak
pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam malam
lainya.
Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An
numairy berkata : "Pahala yang didapat (dari ibadah)
pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah
menjawab : "Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat
pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah".
Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al
Fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan :
" يا علي، من صلى مائة ركعة ليلة
النصف من شعبان يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله عشر مرات إلا قضى الله
له كل حاجة ... إلخ.
“Wahai Ali, barang siapa yang
melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca
setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti
Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan
tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan
kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal),
hadits ini diriwayatkan dari kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu
dan perawi-perawinya tidak diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits
yang menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu : jika datang
malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah
dloif.
Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : "Seratus
rakaat pada malam Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali
(pada setiap rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan
lainya bahwa itu semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas perowinya pada
ketiga jalur sanadnya majhul (tidak diketahui) dan dloif (lemah).
Imam As Syaukani berkata : Hadits yang
menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh
kali itu maudlu’ (palsu), dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudlu’ (tidak
bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para fuqoha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu
dengan hadits hadits diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga
sebagian dari para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini,
yakni malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad,
semuanya adalah bathil / tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’.
Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan
hadits Aisyah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan
Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa
sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar
tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits Aisyah
ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung) sebagaimana hadits Ali yang
telah disebutkan diatas, mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa
sholat (khusus pada) malam itu juga lemah dasar hukumnya.
Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang
menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri
Rasulallah”.
Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi
berkata : sholat yang
sering kita kenal dengan sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua belas rakaat,
dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan
shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah
dan munkar, tidak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena
disebutkan di dalam buku “Quutul qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red)
sebab pada dasarnya hadits hadits tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita
tidak boleh cepat mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka hukum
kedua hadits itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang
lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena ia
telah salah dalam hal ini.
Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al
Maqdisi telah mengarang sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap
bathil) kedua hadits diatas (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at
pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam
buku tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para ulama,
jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan
kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa
saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al
Qur’an dan beberapa hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari
kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat
atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah
bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam, bahkan
hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati ayat Al Qur’an di bawah ini :
] البوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم
نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi
Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan
ayat di atas, selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam :
” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه
فهو رد “.
“Barang siapa yang mengada-adakan
sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia
tertolak”.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين
الليالي، ولا تخصوا يومها بالصيام من بين الأيام، إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم
“. رواه مسلم.
“Janganlah kamu sekalian
mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat
tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dari pada
hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan
hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)” (HR. Muslim).
Seandainya pengkhususan malam itu dengan ibadah
tertentu diperbolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik
dari pada malam malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari
yang disinari oleh matahari ? hal ini berdasarkan hadits hadits Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam
lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh
dihususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang
mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika malam Lailatul Qadar dan
malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh
dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya
agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits shohih :
” من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر
له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“.
“Barang siapa yang berdiri (melakukan
sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala),
niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lewat,
dan barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada malam lailatul qadar
dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni
dosa-dosanya yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alaih).
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at
pertama pada bulan Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk
dikhususkan, dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau
melaksanakannya sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya telah
disampaikan oleh para sahabat kepada kita ; mereka tidak akan
menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling banyak
memberi nasehat setelah para Nabi.
Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan
bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para
sahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada
bulan Rajab.
Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati
perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam,
begitu pula pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar,
sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam
Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan dengan ibadah ibadah
tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan upacara upacara ritual,
berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.
Hal ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu)
diketahui, padahal yang benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak
diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam
Isra’ dan Mi’raj itu pada tanggal 27 Rajab adalah bathil, tidak berdasarkan
pada hadits-hadits yang shahih, maka benar orang yang mengatakan :
وخير الأمور السالفات على الهدى * وشر
الأمور المحدثات البدائع
“Sebaik-baik perkara adalah yang
telah dikerjakan oleh para Salaf, yang telah mendapatkan petunjuk dan
sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada adakan berupa bid’ah
bid’ah”
Allahlah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya
kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah
dan konsisten kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang
bertentangan dengannya, karena hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha Mulia.
Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada
hamba-Nya dan RasulNya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada
keluarga dan para sahabatnya,