Buang hajat merupakan rutinitas amaliyah yang sering
dilakukan semua orang. Maka alangkah baiknya bila kita mengetahui adab-adab buang hajat sesuai dengan tuntunan syari’at
Islam yang mulia ini.
Adanya tuntunan dalam masalah buang hajat ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang
tersisa dari problematika umat ini, melainkan telah dijelaskan secara gamblang
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tak heran, jika kaum musyrikin
pernah terperangah seraya berkata kepada Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:
“Sungguh nabi kalian telah
mengajarkan segala sesuatu sampai-sampai perkara adab buang hajat sekalipun.”
Salman menjawab: “Ya, benar…” (HR. Muslim No. 262)
Diantara
adab-adab tersebut adalah:
1. Berdo’a Sebelum Masuk WC
WC dan yang semisalnya merupakan salah satu tempat
yang dihuni oleh setan. Maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan
kepada Allah subhanahu wata’ala dari kejelekan makhluk tersebut. Oleh karena
itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a ketika akan masuk
WC:
(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ
“(Dengan menyebut nama Allah) Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan setan laki-laki dan
setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah
diawal hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani)
Doa ini dapat pula dibaca dengan lafazh:
(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَ الْخَبَائِثِ
“(Dengan menyebut nama Allah) Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kejahatan dan
para pelakunya.” (Lihat Fathul Bari dan Syarhu Shahih Muslim pada penjelasan hadits
diatas)
2. Mendahulukan Kaki Kiri Ketika
Masuk WC Dan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Keluar
Dalam masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang
secara khusus menyebutkan disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk
WC. Hanya saja terdapat hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menyukai mendahulukan yang kanan pada setiap perkara yang baik.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam
An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu
Daqiqil ‘Id menyebutkan disukainya seseorang yang masuk WC dengan mendahulukan
kaki kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan.
3. Tidak Membawa Sesuatu Yang
Terdapat Padanya Nama Allah subhanahu wata’ala Atau Ayat Al-Qur`an kedalam WC
Sesuatu apapun yang terdapat padanya nama Allah
subhanahu wata’ala, atau terdapat padanya ayat Al-Qur’an, atau terdapat padanya
nama yang disandarkan kepada salah satu dari nama Allah subhanahu wata’ala
seperti Abdullah, Abdurrahman dan yang lainnya, maka tidak sepantasnya
dimasukkan ke tempat buang hajat (WC). Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Adapun hadits yang sering dipakai dalam masalah ini
tentang peletakan cincin Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk WC
merupakan hadits yang dilemahkan para ulama. (Taudhihul Ahkam, 1/324)
4. Berhati-hati Dari Percikan Najis
Tidak berhati-hati dari percikan kencing merupakan
salah satu penyebab diadzabnya seseorang di alam kubur. Tetapi perkara ini sering
disepelekan oleh kebanyakan orang. Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam melewati dua kuburan, seraya beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sungguh dua penghuni kubur ini
sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab melainkan karena menganggap sepele
perkara besar. Adapun salah satunya, ia diadzab karena tidak menjaga dirinya
dari kencing. Sedangkan yang lainnya, ia diadzab karena suka mengadu domba….” (HR. Al-Bukhari no. 216 dan
Muslim no. 292)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah
memperingatkan:
“Bersucilah kalian dari kencing.
Sungguh kebanyakan (orang) diadzab di alam kubur disebabkan karena kencing.” (HR. Ad-Daraquthni)
5. Tidak Menampakkan Aurat
Menutup aurat merupakan perkara yang wajib dalam
Islam. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang
seseorang dalam keadaan apapun, termasuk ketika buang hajat, untuk menampakkan
auratnya di hadapan orang lain. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila dua orang buang hajat, maka
hendaklah keduanya saling menutup auratnya dari yang lain dan janganlah
keduanya saling berbincang-bincang. Sesungguhnya Allah sangat murka dengan
perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad dishahihkan Ibnus Sakan, Ibnul Qathan,
dan Al-Albani, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)
Oleh karena itu, kebiasaan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam adalah menjauh dari pandangan para sahabatnya ketika hendak
buang hajat. Abdurrahman bin Abi Qurad radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah keluar bersama Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika
buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. An Nasa’i No. 16.
Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/495)
6. Tidak Beristinja’ dengan Tangan
Kanan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang
beristinja’ dengan tangan kanan sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam:
لاَيَمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ
بِيَمِيْنِهِ وَهُوَيَبُوْلُ وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ
“Janganlah seseorang diantara kalian
memegang kemaluan dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula
cebok dengan tangan kanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu
Qotadah radhiallahu ‘anhu)
Hadits inipun mengandung larangan memegang kemaluan
dengan tangan kanan ketika sedang kencing. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
sangat memperhatikan adab (etika yang baik) dan kebersihan, termasuk ketika
buang hajat sekalipun.
7. Boleh Bersuci dengan Batu
(Istijmar)
Diantara bentuk kemudahan dari Allah subhanahu
wata’ala ialah dibolehkan bagi seseorang untuk bersuci dengan batu (istijmar).
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“Suatu hari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam buang hajat, lalu beliau meminta kepadaku tiga batu untuk
bersuci.” (HR.
Al-Bukhari No. 156)
Namun batu yang dipakai harus berjumlah ganjil dengan
jumlah minimal tiga batu sebagaimana dinyatakan Salman Al-Farisi radhiallahu
‘anhu:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam melarang bersuci (istijmar) kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika kalian bersuci dengan batu
(istijmar), maka hendaklah dengan bilangan ganjil.” (HR. Muslim)
Para ulama menyebutkan kriteria batu yang dipakai
adalah batu yang suci lagi kering. Tidak boleh jika batu tersebut dalam keadaan
basah. Dibolehkan juga menggunakan benda-benda lain selagi bisa menyerap benda
najis dari tempat keluarnya, yaitu qubul dan dubur, dengan syarat berjumlah
ganjil dan minimal 3 (tiga) buah.
8. Larangan Beristinja’ dengan
Tulang dan Kotoran Binatang
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang
beristinja’ dengan tulang atau kotoran binatang, disamping keduanya merupakan
benda yang tidak dapat menyucikan. Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu
berkata:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang beristinja’ dengan tulang dan kotoran binatang.” (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan
hikmah pelarangan beristinja’ dengan tulang sebagaimana disebutkan dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tulang adalah makanan saudara kalian
dari kalangan jin.” (HR. Al-Bukhari)
9. Tidak Menghadap Atau Membelakangi
Kiblat Ketika Buang Hajat
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini.
Sebagian ulama berpendapat dilarangnya buang hajat dengan menghadap atau
membelakangi kiblat secara mutlak, baik di tempat terbuka maupun di tempat
tertutup. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani
dan yang lainnya. Berdalil dengan hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seseorang dari kalian buang
hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Akan tetapi
hendaknya ia menyamping dari arah kiblat.” (HR. Al-Bukhari No. 394 dan
Muslim No. 264)
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa larangan buang
hajat dengan menghadap kiblat adalah apabila di tempat terbuka. Namun jika di
tempat tertutup, maka dibolehkan menghadap kiblat. Dalil yang menunjukkan
bolehnya perkara tersebut adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, ia
berkata:
“Aku pernah menaiki rumah saudariku
Hafshah (salah satu istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) untuk suatu
kepentingan. Maka aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang
buang hajat dengan menghadap ke arah negeri Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. Al-Bukhari No. 148 dan
Muslim No. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu
‘anhu, ia berkata:
“Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
melarang kami membelakangi atau menghadap kiblat ketika buang hajat. Akan
tetapi aku melihat beliau kencing dengan menghadap kiblat setahun sebelum
beliau wafat.” (HR. Ahmad, 3/365, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih,
1/493)
Pendapat inilah yang nampak bagi penulis lebih kuat.
Dan ini pendapat yang dipilih Al-Imam Malik, Ahmad, Asy-Syafi’i, dan mayoritas
para ulama.
Namun dalam rangka berhati-hati, sebaiknya tidak
menghadap kiblat ketika buang hajat walaupun di tempat tertutup. Hal ini
disebabkan karena perbedaan pendapat yang sangat kuat diantara para ulama dalam
masalah ini.
10. Berdo’a Setelah Keluar WC
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan
do’a yang dibaca ketika keluar dari tempat buang hajat. ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata:
“Bahwasanya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam jika keluar dari tempat buang hajat membaca do’a:
غُفْرَانَكَ
“(Aku memohon pengampunanmu).” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil No. 52)
Terdapat riwayat-riwayat lain yang menyebutkan
beberapa bentuk do’a yang dibaca setelah buang hajat. Namun seluruh
hadits-hadits tersebut didha’ifkan para ulama pakar hadits. Al-Imam Abu Hatim
Ar-Razi berkata: “Hadits yang paling shahih tentang masalah ini adalah
hadits ‘Aisyah (yang telah disebutkan diatas).” (Taudhihul Ahkam, 1/352)
Inilah beberapa perkara yang perlu dicermati oleh
setiap muslim. Sungguh tidak layak bagi seorang muslim menganggap hal ini
sebagai perkara yang sepele.
Wallähu ta’älä a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar