Mula-mula Islam Datang Dalam Keadaan Asing Dan Akan Kembali Dalam Keadaan Asing Pula Maka Beruntunglah Orang-Orang Asing Itu"

Selasa, 15 Januari 2013

Perbedaan Jiwa dan Ruh Manusia

Ketahuilah bahwa Allah menciptakan manusia dari dua unsur yang berbeda. Pertama, jasad yang gelap dan tebal, di bawah struktur alam, tersusun dari tanah, dan tidak bisa sempurna kecuali dengan kehadiran unsur lain. Kedua, jiwa yang bersifat individual, menyinari, mengetahui, melaksanakan, menggerakkan, dan menyempurnakan tubuh. Allah menciptakan tubuh dari sari-sari makanan, merawatnya dengan unsur-unsur debu, meratakan dasar dasarnya, menyempurnakan pilar-pilarnya, menentukan ujung-ujungnya, dan menampakkan permata jiwa dari Yang Satu, Yang Sempurna, Yang Menyempurnakan, dan memberi faidah. Saya tidak mengartikan jiwa yang kuaf adalah kuat mencari makanan, juga bukan kuat menggerakkan syahwat dan nafsu amarah, juga bukan kuat yang diam dalam hati yang melahirkan kehidupan dan menggerakkan indra.

Gerakan berasal dari hati, kemudian mengalir ke seluruh organ tubuh. Kekuatan yang melahirkan gerakan ini dinamakan ruh hewan. Indra, gerak, syahwat, dan amarah adalah tentaranya. Sedangkan kekuatan yang membutuhkan makanan dan tersimpan dalam jantung dinamakan ruh alam. Mengunyah dan menolak adalah bagian dari sifat-sifatnya. Kekuatan yang membentuk, melahirkan, menumbuhkan, dan kekuatan-kekuatan lain yang lahir dari kekuatan ini adalah pelayan tubuh. Tubuh atau jasad itu sendiri adalah pelayan ruh hewan karena ia menerima kekuatan dari ruh itu dan bekerja sesuai dorongan gerakannya. Jiwa yang saya maksudkan sebagai permata individual yang sempurna memiliki ciri-ciri mengingat, menghapal, berpikir, memilah-milah, dan meriwayatkan. Ia juga menerima semua ilmu. Karena itu, ia disebut kepala ruh dan pemimpin kekuatan. Semua organ tubuh dan jiwa-jiwa yang lain melayaninya dan melaksanakan perintahnya. Jiwa yang demikian ini punya kemampuan bicara, yang setiap kelompok memberinya nama sendiri-sendiri. Para ahli hikmah menamakannya kemampuan bicara ini) ruh Al Nathiqah. Al Quran menamakannya Al Nafs Al Muthma’innah (jiwa yang tenang) dan ruh amr. Para sufi menamakannya qalb atau hati. Perbedaan hanya dalam nama dan maknanya satu.
Qalb, ruh, dan nafsu muthma’inaah (hati, ruh dan jiwa yang tenang) menurut kami semuanya adalah nama-nama untuk nafsu nathiqah (jiwa yang berbicara). Nafsu Nathiqah adalah permata yang selalu hidup, aktif dan mengetahui. Jika kita mengucapkan ruh atau hati secara mutlak, maka yang kami maksud adalah permata yang mulia ini. Sedang para sufi menamakan ruh hewan dengan istilah nafsu. Allah menamakannya nafsu, bahkan memperkuatnya dengan keterangan: “Nafsumu yang terletak diantara dua lambungmu.” Yang dimaksud dengan dua lambung adalah kekuatan syahwat dan kekuatan nafsu amarah. Dua kekuatan ini dibangkitkan dari hati yang terletak diantara dua lambung. Jika kamu mengetahui perbedaan-perbedaan penamaan, maka ketahuilah bahwa para pengkaji hanya sekedar mengungkapkannya dengan ungkapan yang berbeda-beda. Dalam hal ini mereka melihat berbagai pikiran yang berbeda-beda. Para ahli kalam yang hanya mengetahui ilmu debat mengategorikan jiwa sebagai tuhuh. Mereka berkata, “Nafsu adalah tubuh yang halus yang ditutupi tubuh yang tebal.” Mereka tidak mampu melihat perbedaan antara ruh dan jasad kecuali dengan kehalusan dan ketebalan. Sebagian mereka mengategorikan ruh sebagai jiwa, dan sebagian dokter condong pada pendapat ini. Ada pula yang memandang darah adalah ruh. Mereka puas dengan keterbatasan pendapat mereka yang sebenarnya hanya berpijak pada khayalan, dan tidak mau mencari bagian yang ketiga.
Ketahuilah, bagian-bagian yang membentuk manusia ada tiga, yaitu jasad, jiwa, dan permata tunggal yang berharga. Ruh hewan adalah badan halus yang seakan-akan merupakan sebuah lampu bernyala yang diletakkan dalam piala hati,yang saya mengartikannya sanubari yang bergantung di dada. Sedangkan kehidupan adalah cahaya lampu dan darah adalah makanannya Indra dan gerakan adalah cahayanya. Syahwat adalah panasnya. Marah adalah minyaknya. Kekuatan pencari makanan yang tersimpan dalam jantung adalah pelayan, penjaga dan wakilnya. Ruh yang demikian terdapat dalam semua hewan. Manusia adalah badan dan jejak-jejaknya adalah jiwa. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu, juga tidak mengetahui jalan makhluk, dan tidakjuga Sang Maha Pencipta. Ruh ini juga menjadi pelayan yang tertawan yang akan mati dengan kematian badan. Seandainya darah bertambah, lampu itu tetap akan padam disebabkan tambahnya panas. Seandainya darah berkurang, lampu itu juga akan padam dikarenakan bertambahnya dingin. Padamnya lampu (ruh) adalah sebab matinya badan. Tidak ada perintah agama dan beban hukum Tuhan pada ruh ini karena seluruh hewan tidak terkena hukum taklifi (aturan-aturan Tuhan yang diberlakukan kepada mereka).
Manusia yang dikenai hukum taklifi disebabkan makna lain yang memang hanya dikhususkan kepada manusia sebagai bekal khusus. Makna itu adalah nafsu nathiqah dan ruh muthma’inna. Ruh ini tidak bersama badan, juga tidak dengan ruh hewan, karena ruh ini dari perkara Allah atau amr Allah.
“Katakan, ‘ruh itu termasuk urusanKu.” (QS. Al Isra’:85)
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya.” (QS. Al Fajr: 27-28).
Urusan atau amr Tuhan bukanlah badan juga bukan jiwa, tapi kekuatan keTuhanan, seperti akal pertama, Lauhil Mahfuzh, dan Al Qalam (pena Allah). Semua itu adalah permata tunggal yang terpisah dari benda-benda. Bahkan, ia adalah cahaya murni yang bisa diketahui akal, tetapi tidak bisa diindra. Ruh dan qalb atau hati adalah istilah kita untuk menyebut permata tunggal yang berharga itu. Ruh ini tidak bisa rusak, tidak bisa lenyap, tidak punah, tidak mati, bahkan terpisah dari badan. Ia menunggu saat kembali kepada Tuhan pada hari kiamat sebagaimana yang dijanjikan dalam syara’.
llmu-ilmu hikmah yang ditopang dengan hujjah-hujjah yang kuat dan beberapa dalil lain menjelaskan bahwa ruh nathiqah bukanlah badan juga bukan jiwa, tetapi permata berharga yang sifatnya tetap, tidak berubah dan tidak rusak. Kami tidak perlu mengulang-ulang argumen karena sudah disebutkan berkali-kali. Siapa saja yang menginginkan penjelasan lebih luas bisa melihat buku-buku saya di bab tentang ruh.
Cara kami menjelaskan masalah ini tidak dengan kekuatan hujjah, tetapi dengan kekuatan mata batin dan berpedoman pada penglihatan iman. Allah swt.terkadang mengaitkan ruh ini dengan amr atau urusanNya dan kadang pula dengan keagungan kemuliaanNya.
“Dan Aku meniupkan ke dalamnya dari ruhKu.” (QS. Al Hijr: 29).
“Katakan, ‘Ruh itu termasuk urusanKu.”‘(QS. Al Isra: 85).
“Maka Kami meniupkan ke dalamnya (pada diri Maryam) dari ruh Kami.” (QS. Al Tahrim: 12).
Allah swt. adalah Dzat Yang Maha Agung yang mustahil mensifati diriNya dengan jasad atau ruh hewan karena keduanya memiliki sifat rusak, berubah dan cepat hilang. Nabi saw. bersabda:
“Ruh-ruh adalah tentara-tentara yang dipersenjatai.”
Sabda beliau yang lain:
“Ruh-ruh orang-orang yang mati syahid dalam rongga burung hijau.”
Jiwa atau ruh hewan tidak tetap ada setelah lenyapnya ruh Tuhan karena ruh ini tidak menetap pada zatnya. Sedangkan badan menerima untuk dipilah-pilah, sebagaimana dikatakan di atas bahwa badan tersusun dari materi dan bentuk. Setelah kita menemukan ayat-ayat di atas, beberapa hadis, dan hujjah-hujjah akal, kita tahu bahwa ruh merupakan permata tunggal yang sempurna dan hidup dengan zatnya sendiri. Dari ruh ini lahirlah baik buruknya agama. Ruh alam dan ruh hewan serta seluruh kekuatan badan adalah tentaranya. Ruh tunggal ini menerima berbagai macam informasi dan hakikat makhluk dengan tanpa badan kasar yang membungkusnva. Jiwa atau ruh tunggal ini mampu mengetahui hakikat kemanusiaan dengan tanpa melihat manusianya sebagaimana ia juga mengetahui malaikat dan setan tanpa harus mengetahui wujudnya. Jiwa ini untuk mengetahui hakikat-hakikat tersebut tidak perlu melihat sosok wujud yang menjadi kerangka hakikat-hakikat di atas, karena memang panca indra tidak mampu menjangkaunya.
Seorang sufi berkata, “Hati memiliki mata sebagaimana tubuh manusia. Badan kasar melihat dengan mata kacar, seangkan objek yang hakiki atau esensiil hanya bisa dilihat degan mata akal.”
Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seorang hamba kecuali hatinya memiliki dua mata.”
Dengan dua mata batin itu, manusia bisa mengetahui sesuatu yang gaib. Jika Allah swt. menghendaki kebaikan pada seorang hamba. maka kedua mata batinnya dibukakan untuk melihat apa yang tidak bisa dilihat mata zahirnya. Itulah ruh tunggal atau jiwa murni yang tidak akan mati dengan matinya badan karena Allah swt. mengajaknya ke pintuNya:
“Kembalilah [hai jiwa yang tenang] kepada Tuhanmu. (QS. Al Fajr: 28).
Ruh pasti berpisah dengan badannya. Di antara tabiat ruh adalah ketika kekuatan tubuh atau energi hewaniah dan alam tidak berfungsi, maka kekuatan penggeraknya diam. Diamnya kekuatan penggerak ini dinamakan maut. Karena keterbatasan kekuatan tubuh, maka ahli tarekat, yakni pengamal tasawuf, lebih memilih bersandar pada kekuatan ruh dan hati daripada kekuatan badan kasar.
Apabila ruh dikategorikan sebagai “urusan” yang berasal dari Tuhan, maka ruh di tubuh manusia seperti makhluk asing. Visinya berorientasi kepada yang asal dan tempat kembalinya. Manfaat yang diperoleh dari sisi asal (esensi) lebih banyak daripada yang diperoleh dari sisi tubuh kasar apabila yang asal itu kuat dan tidak dikotori oleh kotoran tabiat. Jika engkau mengetahui bahwa ruh adalah permata tunggal yang berharga dan engkau juga mengetahui bahwa tubuh merupakan tempat ruh, maka sudah pasti jiwa tidak menampak kecuali dengan permata tunggal atau ruh.
Ketahuilah bahwa permata atau ruh ini tidak bersemayam di suatu tempat atau menempati suatu tempat, dan badan bukanlah tempat ruh juga bukan tempat semayam hati. Badan adalah alat ruh dan hati, di samping sebagai kendaraan jiwa. Zat ruh itu sendiri tidak ada hubungannya dengan unsur-unsur badan, juga tidak terpisah darinya, tetapi ruh merangkul badan, memberi faidah, mengaktifkan fungsi gerak, dan mengalirkan cahaya kehidupan. Cahaya kehidupan yang pertama muncul di otak karena otak adalah penampakan kehidupan yang teristimewa. Di depan otak berfungsi sebagai perisai, di tengah berfungsi sebagai menteri dan unit-unit menejer, dan di akhir herfungsi sebagai gudang simpanan berharga.
Unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia ada yang berjalan ada pula yang berkendaraan. Ruh hewan adalah pelayan. Ruh alam adalah wakil. Badan adalah kendaraan. Dunia adalah medan. Kehidupan adalah bekal. Gerakan adalah perdagangan. Ilmu adalah keuntungan. Akhirat adalah tujuan atau tempat kembali. Syari’at adalah jalan. Nafsu ammarah adalah penjaga. Nafsu lawwamah adalah tukang mengingatkan. Panca indra adalah para pengawas dan pembantu. Agama adalah baju besi. Akal adalah gutu. Rasa adalah murid. Sementara Allah selalu mengawasi di balik semua itu. Jiwa dengan sifat dan alat-alat yang tersebut di atas tidak menempati tubuh vang tebal, juga tidak berhubungan dengan zat tubuh, tetapi memberinya faidah. Jiwa menghadapkan dirinya ke hadapan Allah, dan Allah memerintahkan jiwa untuk mencari faidah sampai ajal tiba. Selama perjalanan ini, ruh tidak memiliki kesibukan kecuali mencari ilmu karena ilmu menjadi perhiasannya di kampung akhirat. Mengapa ilmu menjadi perhiasan ruh atau jiwa diakhirat? Karena perhiasan harta dan anak keturunan adalah perhiasan kehidupan dunia. Mata disibukkan dengan aneka ragam pemandangan. Telinga disibukkan dengan suara-suara. Lidah sibuk menyusun kata-kata. Ruh hewan menyenangi kenikmatan marah. Ruh alam menyukai kelezatan makan dan minum. Sedangkan ruh muthmainnah, yakni hati, tidak menginginkan apa-apa kecuali ilmu, tidak ridha kecuali dengan ilmu dan speanjang umurnya dipakai untuk belajar. Seluruh harinya dihiasi dengan ilmu sampai waktu memisahkannya. Seandainya tuh muthmainnah, jiwa atau hati menerima sesuatu yang lain yang bukan ilmu, sesungguhnya ia menerimanya hanya karena untuk kemaslahatan badan, bukan untuk memenuhi keinginan zat jiwa itu sendiri, juga bukan karena dorongan karakter asliya. Jika kamu mengetahui keadaan ruh, sifatnya yang langgeng, dan kerinduannya pada ilmu maka kamu harus mengetahui klasifikasi ilmu, karena ilmu itu banyak dan kami akan mengelompokkannya secara ringkas.
Klasifikasi llmu
Ketahuilah bahwa ilmu terbagi menjadi dua: pertama adalah (1) ilmu syar’i dan (2) ilmu akal. Kebanyakan ilmu syar’i bersifat rasional bagi yang ahli ilmu, dan kebanyakan ilmu rasional juga bersifat syar’i bagi orang yang ahli ma’rifat.
“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya [sedikitpun].” (QS. Al Nur: 40).
1. Ilmu Syar’i
llmu ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu ilmu ppkok dan ilmu cabang. llmu pokok atau ilmu dasar adalah ilmu tauhid. Ilmu ini memandang Dzat Allah, sifat-sifatNya yang qadim, sifat-sifat perbuatan Nya, dan sifat-sifat DzatNya dengan nama-nama yang telah diperkenalkan olehNya. Ilmu ini juga merenungkan keadaan para Nabi, para pemimpin dan para sahabat, di samping juga memikirkan keadaan maut, kehidupan, kiamat, hari kebangkitan, padang mahsyar, dan perhitungan akhir. Orang yang “melihat” Allah dan ahli ilmu syar’i pertama kali berpedoman ayat-ayat Al Quran, kemudian hadis-hadis Rasulullah saw. dan terakhir dalil-dalil aqli dan argumen-argumen analog. Mereka juga mengambil dalil-dalil yang digunakan dalam ilmu mantiq dan filsafat. Kelompok yang menggunakan dalil-dalil yang terakhir ini sering kali meletakkan kata-kata bukan pada tempatnya, kemudian mereka mengutarakan berbagai pernyataan dengan permata tunggal, jiwa, dalil penalaran, logika dan hujjah. Karena logika, maka tidak jarang satu kata memiliki makna yang beragam sesuai dengan siapa yang mengatakannya. Para filsuf mengartikan jiwaa atau ruh dengan makna tertentu, kaum sufi memaknainya dengan makna lain, dan ahli kalam atau kaum teolog juga punya makna sendiri. Dalam bahasan ini, penulis tidak perlu mengutarakan makna-makna yang herbeda-beda ini menurut pikiran kelompok-kelompok mazhab. Mereka ini adalah kaum vang ahli ilmu kalam, ilmu tauhid dan mereka diberi julukan ulama kalam. Nama ilmu kalam masyhur untuk sebutan ilmu tauhid.
Di antara ilmu yang bisa dikategorikan ilmu pokok adalah tafsir karena Al Quran adalah sesuatu yang paling agung, paling mulia, dan paling benar. Dalam Al Quran terdapat berbagai persoalan yang tidak bisa dijangkau oleh akal kecuali orang yang telah diberi Allah pemahaman. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah satu ayatpun di antara ayat-ayat Al Quran kecuali merniliki bentuk zahir dan bentuk batin, dan satu batinnya mempunyai satu batin hingga tujuh batin.”
Dalam riwayat lain disebutkan hingga memiliki sembilan batin. Rasulullah saw. juga bersabda:
“Setiap huruf di antara huruf-huruf Al Quran mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat terbitnya.”
Dalam Al Quran terhimpun berbagai ilmu pengetahuan. Allah swt. mengabarkan bahwa seluruh ilmu dan segala yang ada, baik yang tampak, samar, kecll, besar, bisa dihitung, bisa di nalar maupun yang tidak bisa dinalar terdapat dalam Al Quran.
“Tidak ada yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS.Al Anam: 59).
“Supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya memperoleh pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29).
Apabila Al Quran dihitung sebagai perkara yang terbesar, maka siapakah mufassir (ahli tafsir) yang telah memenuhi hak Al Quran dan siapa pula ulama yang keluar dari batas-batasnya. Memang benar, setiap mufassir diwajibkan menjelaskan tafsirannya sesuai dengan kemampuannya, menurut ukuran kekuatan akalnya, dan sebanding dengan inti ilmunya. Ilmu Al Quran menunjukkan ilmu pokok. ilmu cabang, ilmu syar’i, dan ilmu rasional. Seorang mufassir atau ulama tafsir harus memahami Al Quran dari berbagai sisi. mulai dari sisi bahasa, arti kiasan, struktur kalimat, tingkatan-tingkatan gramatika, kebiasaan orang Arab, filosofis, hingga pendapat-pendapat kaum sufi sampai penafsirannva mendekati kenyataan (hakiki). Seandainya pemahamannya dalam satu sisi terbatas, tetapi dengan ilmu tertentu ia mendapatkan kepuasan, berarti ia belum keluar dari batas-batas penafsiran. Pada posisi ini, ia berpedoman pada hujjah iman dan kekuatan argumen.
Hadis juga termasuh ilmu pokok. Nabi saw. adalah orang yang paling fasih di antara bangsa Arab dan non-Arab, Beliau seorang mahaguru yang senantiasa mendapatkan wahyu dari Allah swt. Akalnya meliputi dan menjangkau semua yang berada di atas dan yang di bawah. Setiap kata dari kata-katanya, bahkan setiap huruf di antara huruf-huruf yang disabdakannya di bawahnya pasti ditemukan lautan rahasia dan simpanan yang berharga. Karena itu, ilmu hadis dan mengetahui hadis-hadisnya adalah perkara yang agung. Tidak seorang pun yang mampu mengetahui dan memahami sabda Nabi saw. kecuali jiwanya telah terdidik dengan senantiasa mengikuti Allah (dengan meneladani Rasul) dan menghilangkan kebengkokan-kebengkokan dari hatinya dengan menegakkan Sunnah Nabi saw.
Barangsiapa ingin berbicara tentang tafsir Al Quran, menafsiri hadis-hadis Rasul, dan benar dalam berbicara, maka wajib atasnya, yang pertama, menguasai ilmu bahasa dan paham ilmu nahwu, i’rab, dan sharaf. Ilmu bahasa adalah tangga dan jembatan yang mengantarkan kepada semua ilmu. Barangsiapa tidak mengetahui ilmu bahasa, maka tidak ada jalan baginya untuk mrenguasai macam-macam ilmu. Barang siapa ingin mendaki suatu hamparan yang berada di atas, maka wajib baginya menyiapkan tangga, kemudian mendaki. Ilmu bahasa dalam hal ini ibarat sarana, jembatan, dan tangga. Karena itu, pencari ilmu membutuhkan hukum-hukum bahasa. Dengan demikian, ilmu bahasa adalah dasar dari semua dasar. Hal pertama yang hanus diketahui dari ilmu bahasa adalah ilmu alat. Selain itu, pengkaji juga harus memperhatikan syair-syair Arab, terutama yang disusun di zaman Jahili. Karena syair Jahili kekuatan bahasanya sangat tajam, daya imajinasi dan emosinya kuat. Iimu nahwu atau gramatika Arab yang diibaratkan timbangan juga harus dikuasai. Setiap ilmu memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, seperti mantik atau ilmu logika adalah untuk ilmu hikmah, ilmu ‘arudl untuk syair, dan timbangan untuk menakar biji-bijian. Setiap apa saja yang tidak ditimbang dengan timbangan, maka tidak diketahui hakikat tambahan dan pengurangan. Itulah sebabnya ilmu bahasa diibaratkan jalan yang menghubungkan pada ilmu tafsir dan hadis. Ilmu Al Quran dan hadis adalah dalil yang menunjukkan pada ilmu tauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang tidak satu pun jiwa bisa selamat kecuali berpedoman dengannva, dan ia juga tidak terbebas dari ancaman hari akhir kecuali dengan mengilmuinya.
Bagian kedua dari ilmu syar’i adalah ilmu cabang. Ilmu jenis ini ada halnya bersifat ilmu semata dan ada pula yang berupa amalan atau perbuatan. Ilmu pokok adalah pengetahuan murni, yakni ilmiah. Sedangkan ilmu cabang adalah perbuatan. Ilmu amaliah (perbuatan) ini mencakup tiga hak, yaitu hak Allah, hak hamba atau ibadah, dan hak jiwa.
Hak Allah dalam perspektif ini adalah rukun-rukun ibadah, seperti bersuci, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, berhari raya, shalat jumat, dan ibadah-ibadah sunnah. Sedangkan hak hamba adalah pintu-pintu adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, hak hamba terbagi menjadi dua. Pertama, mu’amalah, seperti jual-beli, syirkah atau perkongsian, hibah, investasi modal, pinjaman, dan berbagai jenis piutang. Kedua adalah akad perjanjian, seperti nikah, talak, memerdekakan budak, dan faraid. Ilmu fiqih mencakup dua sisi hak hamba ini. Karena itu, ilmu fiqih adalah ilmu yang mulia, memberi manfaat umum, dibutuhkan, dan semua manusia membutuhkannya.
Hak yang ketiga adalah hak jiwa, yaih ilmu akhlak. Akhlak adakalanya tercela dan wajib dibuang. Akhlak ada juga yang baik dan wajib dimiliki. Akhlak jenis ini harus menjadi hiasan jiwa. Akhlak yang tercela dan yang terpuji sama-sama dijelaskan dalam Al Quran dan Al Sunnah. Barangsiapa berakhlak dengan salah satu akhlak yang baik, ia masuk surga.
2. Ilmu Akal
Ini adalah jenis ilmu yang sulit dan membingungkan, kadang-kadang benar dan kadang pula salah. Jika diklasifikasikan, ilmu akal tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkatan pertama, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga.
Tingkatan yang pertama adalah tingkatan yang tertinggi, yaitu ilmu pasti dan ilmu logika. Di antara ilmu-ilmu yang bisa dikelompokkan ilmu alam adalah ilmu hitung, ilmu teknik atau arsitektur, ilmu alam yang mencakup ilmu perbintangan, ilmu bumi, dan ilmu cuaca. Sedangkan ilmu logika adalah ilmu yang mengajarkan cara membuat batasan, definisi, dan rumusan tentang sesuatu yang bisa diketahui dengan logika atau bayangan. Di samping itu, ilmu ini juga mengajarkan cara membuat perbandingan dan argumen-argumen berbagai ilmu yang diperoleh dengan cara yang benar. Ilmu logika berputar mengikuti kaidah-kaidah berikut ini, yaitu diawali dengan satuan-satuan tunggal, kemudian dengan susunan dari satuan-satuan tunggal, kemudian berhipotesa, kemudian membandingkan. kemudian membagi-bagi perbandingan, dan diakhiri mencari hujjah atau argumen.
Tingkatan kedua. yakni tingkatan tengah-tengah adalah ilmu alam. Orang yang menggeluti ilmu ini memandang tubuh secara mutlak, memperhatikan unsur-unsur alam, benda-benda langit, benda-benda padat, esensi benda, gerak dan diamnya sesuatu, keadaan langit dan segala apa saja yang bergerak atau yang memberi aksi dan reaksi. Dari ilmu ini maka lahirlah ilmu yang mengamati keadaan susunan benda-benda yang ada, nyawa dan jenis-jenisnya, alat-alat indra dan bagaimana indra mengetahui objeknya, kemudian berkembang menjadi ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran adalah ilmu badan, anatomi tubuh, penyakit, obat-obatan, penyembuhan dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Cabang-cabang ilmu yang berkembang dari ilmu kedokteran adalah ilmu yang mampu mendeteksi pengaruh obat atau penyakTt, itmu pertambangan, dan ilmu yang mengetahui rahasia di balik benda-benda. Ilmu ini bisa berkembang hingga ke puncaknya sampai menghasilkan ilmu kimia, yang di antara fungsinya bisa untuk mengobati tubuh yang sakit yang terdapat dalam rongga tubuh.
Tingkatan ketiga adalah ilmu yang tertinggi, yaih ilmu yang mampu memandang sesuatu yang ada. Ilmu ini dibagi menjadi ilmu yang wajib dan ilmu yang mungkin. Kemudian ilmu ini memandang Pencipta sesuatu yang ada, DzatNya, semua sifatNya, perbuatanNya, perintah dan hukumNya, qadla’Nya, dan urutan penampakan sesuatu yang ada. Bertolak dari sini, ilmu menguak sesuatu yang luhur, sangat bernilai, yaitu, jiwa, akal, nafsu yang sempurna, kemudian merenungkan keadaan malaikat dan setan, yang akhirnya mengantarkan kepada ilmu kenabian, kemukjizatan, karomah, keadaan jiwa yang suci, keadaan jiwa yang tidur, tersadar, bangun, dan maqam-maqam ru’yah. Dari ilmu ini, maka lahirlah ilmu jimat, mantra-mantra. tumbal, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengannya. Ilmu-ilmu yang dipaparkan di atas memiliki pasal-pasal, urut-urutan, dan tingkatan-tingkatannya yang masing-masing membutuhkan penjelasan tersendiri. Akan tetapi, kami cukup meringkasnya sampai di sini saja.
Ilmu Tasawuf
Ketahuilah bahwa ilmu akal pada mulanya bersifat tunggal, satu, kemudian darinya lahir ilmu yang tersusun dari yang tunggal. Dalam ilmu yang tersusun ini diketahui seluruh keadaan alam secara satuan-satuan. Di antara ilmu yang tersusun itu terdapat ilmu sufi dan cara-cara pengamalnya membina pribadi. Para sufi memiliki ilmu khusus dengan cara yang jelas dan ilmu mereka meliputi ilmu hal, waktu, pendengaran, wijd, syauq, sakr, shahwu, itsbat, muhu, faqr, fana’, wilayah, iradah, syekh, murid, dan apa saja yang berkaitan dengan keadaan spiritual mereka dan sifat-sifat serta maqamat. Insyaallah kami akan membahas tiga macam ilmu ini dalam kitab khusus, dan sekarang kami tidak mempunyai tujuan selain menjabarkan klasifikasi ilmu dan jenis-jenisnya dalam risalah ini. Semua ini kami jelaskan secara ringkas. Barangsiapa menginginkan keterangan tambahan, maka dipersilakan menelaah kitab-kitab tasawuf Yang lain. Setelah penjelasan tentang klasifikasi dan jenis-jenis ilmu dipaparkan, maka ketahuilah dengan yakin bahwa setiap cabang ilmu menuntut beberapa syarat untuk mengukirnya di dalam jiwa para pencarinya. Sesudah memahami macam-macam ilmu, Anda wajib mengetahui cara-cara menghasilkannya. Setiap ilmu mempunyai cara tertentu untuk mendapatkannya.

0 komentar:

Posting Komentar